Eks Pimpinan KPK Hong Kong ‘Nasihati’ DPR
Berita

Eks Pimpinan KPK Hong Kong ‘Nasihati’ DPR

Memberi perhatian terhadap pemberantasan korupsi itu merupakan kewajiban, tetapi tidak boleh mengintervensi KPK.

Oleh:
ali
Bacaan 2 Menit
Mantan Komisioner the Independent Commission Against Corruption of Hong Kong atau KPK Hong Kong Bertrand de Speville. Foto: Sgp
Mantan Komisioner the Independent Commission Against Corruption of Hong Kong atau KPK Hong Kong Bertrand de Speville. Foto: Sgp

Komisi III DPR menggelar pertemuan dengan mantan Komisioner the Independent Commission Against Corruption of Hong Kong (ICAC) atau KPK Hong Kong Bertrand de Speville. Berbagai pemikiran dan masukan disampaikan oleh Bertrand di hadapan pimpinan dan perwakilan fraksi di Komisi III yang berlangsung secara tertutup ini.

“Indonesia sudah mengalami perkembangan yang baik dalam melakukan pemberantasan korupsi. Pemerintah Indonesia, bekerja sama dengan bantuan sejumlah komunitas, telah membangun hukum dan KPK dengan baik,” ujarnya usai pertemuan kepada wartawan di Gedung DPR, Senin (2/7).

Bertrand melihat perkembangan yang baik ini bisa dilihat dari Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dikeluarkan oleh Transparency Internasional untuk Indonesia yang terus membaik. Ia menjelaskan telah ada kenaikan IPK satu poin selama proses pemberantasan korupsi ini berlangsung. “Sekarang Indonesia mendapat skor IPK 3. Memang masih panjang untuk mendapat skor 10, tetapi ini perkembangan yang baik,” ujarnya.

Meski begitu, Bertrand menilai KPK selaku ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia tetap butuh dukungan dari DPR, terutama Komisi III. “Para legislator harus mempunyai perhatian terhadap isu pemberantasan korupsi. Mereka harus mengambil peran ini. Tetapi legislator harus berhati-hati jangan sampai interest ini bisa berubah menjadi intervensi terhadap KPK,” ujarnya. 

Bertrand berpendapat KPK harus terus melaporkan perkembangan proses pemberantasan korupsi kepada DPR melalui laporan tahunan. Dan anggota DPR bisa menanyai KPK seputar laporan itu. Namun, ia mengingatkan anggota DPR harus hati-hati dan tak boleh menanyai kasus-kasus itu secara khusus dan teknis. Apa yang ditanyakan cukup yang berlaku secara umum.

“Kalau mereka tanya kasus-kasus itu secara khusus, masyarakat nanti menilai KPK sudah diintervensi oleh DPR,” ujarnya.

Lebih lanjut, Bertrand juga menyoroti DPR –dan pemerintah- harus menyiapkan sumber daya manusia (SDM) yang layak bagi KPK. Ia mengaku KPK butuh tambahan SDM yang cukup signifikan. Ia membandingkan dengan Hong Kong yang berpenduduk 7 juta, memiliki 1.300 pegawai di ICAC. Di Malaysia yang berpenduduk 25 juta, lembaga anti korupsinya memiliki 1.700 pegawai.

“Indonesia yang berpenduduk 200 juta, tetapi KPK-nya hanya memiliki 700 pegawai. Ini jelas tak cukup,” ujarnya.

Bertrand menambahkan bila staf di KPK perlu ditambah, maka infrastruktur untuk KPK juga harus diperhatikan. “Mereka butuh SDM dan gedung. Karena tak mungkin SDM yang ada nanti bekerja di luar. Mereka tak bisa dapatkan staf baru, bila gedung untuk menampung mereka tak ada. Belum lagi gaji untuk mereka,” sebutnya membeberkan pekerjaan rumah yang mesti dihadapi DPR dan pemerintah Indonesia.

Bertrand mengaku mengikuti perkembangan KPK di Indonesia saat ini. Salah satunya silang sengketa seputar pembangunan Gedung Baru KPK yang belum disetujui oleh DPR. Ia melihat dukungan yang besar dari masyarakat untuk melakukan saweran untuk KPK merupakan aset yang besar bagi Indonesia dalam memberantas korupsi. “Ini aset yang berharga. KPK, Pemerintah dan DPR jangan menyia-nyiakan dukungan ini,” tegasnya.

Dalam pemberantasan korupsi, dukungan publik adalah aset yang paling berharga dan utama. “Kamu tak akan bisa memenangan pertarungan dalam memberantas korupsi kalau tak mendapat dukungan publik,” tambahnya.  

Bertrand tak melulu mengkritik dan menasehati DPR. Ia juga menilai DPR sudah cukup bertanggung jawab dalam mendukung pemberantasan korupsi di Indonesia, salah satunya adalah membuat UU KPK yang dinilai cukup baik. Terkait banyaknya anggota DPR yang ditangkap oleh KPK, Bertrand bukan menilai hal itu sebagai masalah besar. “Seluruh sektor itu pasti ada korupsi. Tak ada sektor yang immune dari korupsi, termasuk DPR,” tuturnya.

Kewenangan penyadapan
Ketua Komisi III I Gede Pasek Suardika mengatakan Komisi III telah mengambil pelajaran berharga dari pertemuan itu. Ia mengaku baru mengetahui beberapa hal menarik yang seakan ditutup-tutupi selama ini, yakni kewenangan KPK yang sebenarnya tak boleh terlalu absolut. “Punya kewenangan besar boleh, tapi jangan absolute,” tuturnya.

Pertama, Pasek mencontohkan kewenangan penyadapan. Di Hong Kong, ICAC bila ingin menyadap harus berdasarkan penetapan (izin) pengadilan. “KPK Indonesia kan berbeda. Bisa menyadap tanpa izin pengadilan,” ujarnya.

Kedua, di Hong Kong, penyidikan dan penuntutan dilakukan secara terpisah. Karenanya, Pasek menilai postur KPK Hong Kong cukup bagus. “Ini temuan yang menarik. Nanti akan kita atur di Indonesia. Apakah pemisahannya tetap dalam domain KPK atau benar-benar dilakukan secara terpisah sesuai dengan KUHAP,” ujarnya.

Selain itu, di Hong Kong, pimpinan KPK bersifat tunggal, bukan kolektif kolegial seperti KPK Indonesia. “Memang kolegial atau tunggal itu tak ada yang salah. Ini kan kebijakan dalam UU. Ketika sudah masuk ke dalam UU, maka semua konsep yang ada dianggap benar,” tuturnya.

Pasek mengaku tertarik untuk mengundang Bertrand dalam forum yang lebih terbuka yang dihadiri oleh seluruh anggota Komisi III. Apalagi, saat ini DPR sedang menyusun draf revisi UU KPK. “Kami akan atur waktu untuk bertemu lagi. Mumpung dia ada disini, biar kami tak dibilang selalu studi banding ke luar negeri. Kami akan undang juga Prof Romli (Atmasasmita,-red),” pungkasnya.

Tags: