Eksaminasi Putusan Budi Pego, Tuduhan Pasal 107a KUHP Terkesan Dipaksakan
Berita

Eksaminasi Putusan Budi Pego, Tuduhan Pasal 107a KUHP Terkesan Dipaksakan

Padahal, bukti berupa spanduk berlambang palu dan arit tidak pernah dihadirkan dalam persidangan dan tidak ada bukti Budi Pego yang membuat spanduk berlogo palu dan arit itu.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit

 

Dalam amar putusannya, majelis menyatakan terdakwa Budi Pego terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “kejahatan terhadap keamanan negara” “Menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 10 bulan,” demikian kutipan amar putusan bernomor 559/Pid.B/2017/PN.Byw.

 

Putusan pada tingkat banding tidak jauh berbeda. Dalam putusan bernomor 174/PID/2018/PT SBY, Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya menjatuhkan pidana 10 bulan dan menetapkan lamanya masa penahanan yang sudah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Selain itu, upaya kasasi juga dilakukan para pihak dan telah diputuskan. Hingga saat ini, tim kuasa hukum Budi Pego belum menerima salinan putusan bernomor 1567K/Pid.Sus/2018. Tapi dari informasi yang diperoleh tim, Majelis kasasi menambah pidana menjadi 4 tahun penjara.

 

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sahid, Wahyu Nugroho melihat jerat Pasal 107a terkesan sangat dipaksakan. Terjadi penggiringan argumentasi hukum dari perjuangan warga untuk memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat menjadi tuduhan penyebaran Komunisme. Padahal, dalam persidangan tuduhan itu tidak terbukti. Spanduk penolakan tambang yang berlambang logo palu dan arit tidak pernah dihadirkan dalam persidangan.

 

Wahyu menilai majelis PN Banyuwangi menghindar dari Pasal 66 UU No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan dalih tindakan penolakan tambang yang dilakukan Budi Pego tidak melalui cara hukum. Majelis berargumen dalam Penjelasan Pasal 66 menyebutkan ketentuan ini dimaksudkan melindungi korban dan/atau pelapor yang menempuh cara hukum akibat pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.

 

Selain itu, unsur penyebaran ajaran Komunisme sebagaimana dituduhkan kepada Budi Pego menurut Wahyu tidak terbukti. Dalam rekaman video yang dijadikan bukti di persidangan tidak ada peserta demonstrasi yang menyebarkan ajaran Komunisme. Dalam persidangan juga tidak terbukti bahwa Budi Pego yang menggambar logo palu dan arit dalam spanduk yang digunakan demonstrasi. “Terbukti sangat jelas majelis hakim tidak menggali fakta empiris,” katanya dalam acara Eksaminasi Kasus Kriminalisasi Budi Pego di Jakarta, Kamis (14/3/2019).

 

Pengajar STHI Jentera, Arsil berpendapat pada intinya pengadilan mengakui Budi Pego sebagai pemimpin demonstrasi. Dalam demonstrasi itu, ada spanduk dengan lambang palu dan arit. Kemudian jaksa mendakwa Budi dengan Pasal 107a UU No.27 Tahun 1999. Fakta lain dalam persidangan, pengadilan tidak mengakui bahwa Budi Pego yang membuat spanduk berlogo palu dan arit itu. Seluruh saksi dan jaksa tidak menyatakan Budi Pego yang membuat spanduk tersebut. Dari fakta persidangan itu, Arsil menilai hakim tidak melihat unsur yang ada.

 

Majelis hakim menerapkan prinsip vicarious liability, padahal ini umumnya untuk perkara perdata dimana atasan bertanggung jawab atas kelalaian pekerjanya. Menurut Arsil, dalam kasus pidana prinsip ini tidak bisa diterapkan untuk individu, tapi untuk korporasi. Majelis menilai Budi Pego sebagai pemimpin demonstrasi bertanggung jawab atas tindakan pidana yang terjadi dalam kegiatan demonstrasi itu. Dalam hal ini spanduk berlambang palu dan arit dibentangkan oleh peserta demonstrasi, dan Budi Pego harus bertanggung jawab. “Kalau penerapannya seperti ini bisa kacau semuanya,” tegasnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait