Dalam cerita silat Cina, kita menonton pemusnahan suatu klan, kampung atau keluarga. Penguasa baru pastinya juga segera membangun institusi baru, membuat kebijakan publik baru, serta menempatkan orang-orang baru diberbagai institusi pemerintahan dan kemasyarakatan. Masa transisi demikian bisa sangat berdarah-darah dan memakan korban masal serta meluluh-lantakkan secara masif tatanan negara dan masyarakat, apalagi kalau melibatkan kepentingan atau perubahan ideologis.
Simak saja revolusi Bolshevik di Rusia dan revolusi kebudayaan di Cina. Tapi bisa juga berlangsung relatif damai seperti revolusi bunga di Portugal, revolusi kaum buruh di Polandia, dan kejatuhan Marcos di Filipina. Revolusi bisa dengan kejam menelan anak-anaknya sendiri, tetapi di sisi lain kadang-kadang revolusi juga bisa melahirkan anak-anak bangsa baru yang membentuk dunia baru.
Reformasi (kalau ini mau disebut reformasi) yang tersendat-sendat di Indonesia masih sangat belum jelas arahnya, dan ini tentu bukan revolusi. Reformasi adalah suatu perubahan bentuk dari sesuatu yang lama menjadi bentukan baru, tetapi tidak memporak-porandakan apa yang sudah ada. Reformasi bisa dengan sangat ekstrim mengubah bentuk fundamental dasar dan tata nilai kehidupan berbangsa dan bernegara secara masif dan berkelanjutan. Misalnya reformasi bisa mengubah suatu konstitusi dan hukum dasar suatu negara.
Reformasi juga bisa mengubah nilai-nilai governance. Dari semula suatu bentukan yang memfasilitasi korupsi, penindasan hak-hak masyarakat dan dipasungnya supremasi hukum, menjadi bentukan baru yang berdasarkan good governance, yaitu suatu pemerintahan dengan sikap-sikap transparan, adil, menjunjung akuntabilitas publik, egaliter serta menerapkan supremasi hukum tanpa pandang bulu. Dalam bentuk yang paling ringan, mungkin reformasi hanya akan sekadar mengubah arahan kebijakan publik tertentu, misalnya kebijakan hukum pertanahan nasional.
Di banyak negara terbelakang dan sedang berkembang, nilai atau sikap masyarakat seringkali menghambat terjadinya reformasi dalam berbagai tingkatan tersebut.
Pertama, masyarakat seringkali mementingkan perubahan pada elite dibandingkan pada institusi. Misalnya, selalu timbul pertanyaan dan perdebatan siapa yang akan menjadi Panglima TNI, Pangkostrad, atau Pangdam baru, ketimbang memperdebatkan apakah fungsi-fungsi di TNI tersebut secara institusional masih diperlukan, atau peran baru apa yang harus dilaksanakan oleh institusi tersebut dalam masyarakat yang sedang berubah.
Juga dipentingkan, siapa menteri kabinet setelah reshuffle. Dari partai atau golongan mana saja mereka? Bagaimana kedekatannya dengan elite politik, atau lebih jelek lagi, dari etnik atau agama apa saja menteri-menteri itu berasal dan lain sebagainya? Tidak kita utamakan apakah mereka mempunyai kapabilitas dan karakter terpuji untuk membawa bangsa ini keluar dari krisis dan segera saja mementaskan kita untuk berdamping sejajar dengan bangsa-bangsa lain.