Empat Perusahaan Asuransi Belum Terapkan Single Presence Policy
Berita

Empat Perusahaan Asuransi Belum Terapkan Single Presence Policy

Aturan ini diharapkan dapat menciptakan persaingan usahan di industri asuransi lebih sehat. Tanpa ada aturan SPP ini berpotensi menimbulkan monopoli di industri ini.

CR-26
Bacaan 2 Menit
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES
Gedung Otoritas Jasa Keuangan di Jakarta. Foto: RES

Lembaga pengawas jasa keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan sebanyak empat perusahaan asuransi belum terapkan single presence policy (SPP) atau larangan menjadi pemegang saham pengendali di dua perusahaan atau lebih. Padahal, sesuai Peraturan OJK No.67/POJK.05/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, Perusahaan Reasuransi dan Perusahaan Reasuransi Syariah, aturan SPP tersebut berlaku paling lambat 17 Oktober 2017.

 

“Untuk perusahaan yang harus dilepas (sahamnya) ada sekitar empat. Sedangkan dari investornya (yang harus melepas saham) di bawah 10 (entitas),” kata  Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Kelembagaan dan Produk Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK, Asep Iskandar saat dihubungi Hukumonline, Kamis (8/2/2018).

 

Ia menjelaskan saat ini perusahaan tersebut ada yang masih dalam tahap proses perizinan ke OJK dan internal perusahaan tersebut. Meski terlambat, Asep menyatakan proses penerapan SPP dapat terlaksana. Ia menjelaskan keterlambatan penerapan tersebut disebabkan dari sisi perusahaan asuransi tersebut dan OJK sendiri. “Praktiknya agak lama karena ini ada jual beli saham yang butuh waktu. Kemudian, dari kami ada perizinan dan juga fit and proper test terlebih dahulu,” kata Asep.

 

Dia melanjutkan penerapan SPP entitas tidak harus dengan jalan penggabungan perusahaan  atau merger seperti terjadi pada PT Axa Life Indonesia (ALI) dan PT Axa Finance Indonesia (AFI). Perusahaan asuransi tersebut dapat menempuh jalan lain seperti pelepasan saham (divestasi).

 

Menurut Asep, penerapan aturan tersebut OJK akan lebih mudah mengawasi industri asuransi. Aturan ini diterapkan untuk penyederhanaan industri guna efektivitas pengawasan dan mitigasi risiko. Selain itu, aturan tersebut mampu memperkuat permodalan perusahaan asuransi tersebut.

 

“Setiap grup itu enggak boleh punya (anak) perusahaan banyak-banyak agar lebih efisien dan tidak terjadi saling sikut antara mereka (perusahaan asuransi) jika produknya sama,” tambah Asep. Baca Juga: Efek Single Presence Policy, OJK Cabut Izin Usaha Axa Life

 

Berdasarkan data OJK pada 2016, secara rinci terdapat sebanyak 50 perusahaan asuransi jiwa, 76 asuransi umum dan 6 perusahaan reasuransi.

 

Pihaknya sangat berhati-hati menerapkan kebijakan tersebut agar tidak terjadi kesalahan. Hal yang paling disoroti adalah calon pemodal baru yang ingin berinvestasi di perusahaan asuransi tersebut. Salah satu kriterianya, calon pemodal tersebut harus memiliki syarat kemampuan finansial dan pemahaman mendalam mengenai dunia asuransi.

 

“OJK harus memastikan calonnya kompeten. Kalau asing (perusahaan modal asing), dia harus punya duit lima kali dari jumlah penyertaan disini. Kalau investornya perorangan, kami cek dari jumlah kekayaannya karena tidak boleh pinjaman digunakan untuk menanam saham di asuransi,” kata Asep. Untuk persyaratan pelarangan setoran modal bersumber dari modal pinjaman termuat dalam Pasal 10 ayat (2) huruf f dan angka 1 huruf e.

 

Skema lain, saat perusahaan asuransi memutuskan merger, OJK mewajibkan perusahaan yang akan dilebur harus menyelesaikan kewajibannya sebelum terjadi penyatuan. Hal ini dilakukan untuk menjamin tidak menimbulkan permasalahan baru setelah merger. “Kami mengharuskan seluruh kewajiban harus dipenuhi dan pemegang polis sudah di-transfer. Kalau sudah kami cabut (izin usahanya) harus sudah bersih,” papar Asep.

 

Berdasarkan Peraturan OJK tersebut, SPP hanya berlaku pada satu jenis perusahaan asuransi. Sehingga, pemodal masih diperbolehkan investasi di jenis perusahaan lain. Misalnya, pemodal yang telah berinvestasi di satu perusahaan asuransi umum dapat menanamkan modalnya di satu perusahaan asuransi jiwa, asuransi syariah dan atau perusahaan reasuransi.

 

Menanggapi penerapan aturan tersebut seorang komisaris utama perusahaan asuransi sekaligus pengamat, Herris Simanjutak mendorong OJK untuk mempercepat penerapan aturan tersebut. Menurutnya, SPP dapat menciptakan persaingan industri asuransi lebih sehat sekaligus meningkatkan daya saing industri asuransi nasional. Sebab, tanpa ada aturan SPP itu berpotensi menimbulkan monopoli di industri ini.

 

Aturan ini juga mendorong perusahaan asuransi menerapkan good corporate governance sesuai dengan ketentuan. “Aturan ini bagus. Bisa-bisa kalau tidak ada SPP, suatu industri (asuransi) termasuk jasa keuangan akan dikuasai oleh konglomerasi (tertentu) saja yang duitnya triliunan,” kata Herris.

Tags:

Berita Terkait