Era Elektronik, Era Perubahan Cara Berhukum
Seribu Wajah UU ITE Baru:

Era Elektronik, Era Perubahan Cara Berhukum

“I claimed that information technology generally, and the internet in particular, were about to precipitate huge changes in legal practices and the administration of justice” (--Richard Susskind).

Oleh:
MYS
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS
Dari banyak ruang sidang pengadilan di negeri ini, perdebatan mengenai Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana terus bergaung. Poin perdebatan itu bisa dibilang bermuara pada satu hal: masih layakkah dipertahankan jenis-jenis alat bukti tersebut di tengah perkembangan dunia hukum yang begitu pesat.

Tengok saja yang pernah diperdebatkan panjang lebar di sidang pembunuhan Wayan Mirna Salihin di PN Jakarta Pusat. Kala itu diperdebatkan apakah CCTV kafe Olivier yang merekam detik demi detik kegiatan korban sebelum meninggal bisa dijadikan alat bukti. Tim pengacara terdakwa Jessica Kumala Wongso berargumen tak ada alat bukti elektronik secara formal dalam KUHAP. Sebaliknya penuntut umum merujuk pada praktik, hakim sudah menerima produk dari sistem elektronik sebagai bukti. (Baca juga: Kejanggalan Bukti CCTV Versi Ahli Digital Forensik dari Kubu Jessica)

CCTV yang merekam aksi pemberian suap, print out Anjungan Tunai Mandiri (ATM), struktur parkir dan belanja yang dicetak, hasil sadapan dan rekaman, atau sebut saja produk yang dihasilkan dari sistem transaksi elektronik. Dalam banyak kasus, majelis hakim sudah mengakuinya dengan berlandaskan pada UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Ada juga yang memakai perundang-undangan lain yang sudah mengakui alat bukti elektronik. (Baca juga: Ahli: Alat Bukti Elektronik Tidak Bisa Dibatasi Undang-Undang)

Bahkan ada kasus yang bisa terungkap setelah aparat penegak hukum masuk ke sistem elektronik. Kasus prostitusi daring misalnya. Karakteristik modus perbuatan ini yang cenderung tertutup membuat polisi kesulitan mengungkap prostitusi daring. Cara yang bisa dilakukan adalah masuk ke sistem elektronik para pelaku. Lantas, apakah aparat mengabaikan pengaruh era elektronik dalam kejahatan? Tentu saja tidak. Majelis hakim pembunuhan berencana Mirna pun mengesampingkan keberatan pengacara terdakwa mengenai alat bukti CCTV.

Sebenarnya, dunia elektronik tak hanya menyita waktu dan pikiran pada proses pembuktian. Dunia bisnis yang paling terasa terdampak. Layanan perbankan adalah contoh nyata. Yang terbaru adalah pemesanan dan pembelian barang, bisnis pengelolaan layanan ini terus berkembang. Begitu juga layanan publik seperti pembelian tiket dan hotel.

Percaya atau tidak, satu persatu transaksi elektronik itu berpotensi menimbulkan sengketa hukum dan mungkin konflik sosial. Lihat bagaimana bangsa ini berdebat tentang transportasi ojek aplikasi. Dari sisi konsumen, aplikasi memberikan banyak keuntungan ekonomi dan rasa aman bagi penumpang. (Baca juga: Jika Transportasi Berbasis Aplikasi Dilegalkan, Ini 5 Hal yang Wajib Diatur)

Kemajuan dunia digital telah mengubah banyak cara manusia dalam berhukum. Dunia profesi hukum pun berubah. Richard Susskind dalam bukunya ‘Transforming the Law: Essays on Technology, Justice and the Legal Marketplace’, yang terbit 16 tahun lalu, menggambarkan dengan baik bagaimana perkembangan teknologi dan digital mempengaruhi dunia hukum.

Salah satu yang diteropong Suskin adalah paradigma hukum yang telah berubah. Di kalangan pengacara misalnya. Jika selama ini pengacara mengandalkan jasa memberikan konsultasi hukum (advisory service), jasa semacam ini akan ditinggalkan. Menurut Susskind, paradigma sudah harus diubah menjadi jasa informasi (information service). Mengapa? Sederhana saja jawabannya, warga yang membutuhkan jawaban atas persoalan hukum kini sudah punya banyak opsi. Tinggal klik, langsung ada jawabannya. Dan catat, tanpa harus membayar!

Paradigma one to one dalam layanan hukum, kata Susskind, juga harus berubah menjadi one-to-many. Kalau paradigma ini ditarik ke akses masyarakat terhadap putusan pengadilan, maka akan terjawab pasal KUHAP yang mengatur pemberian putusan hanya kepada para pihak berperkara sudah tidak relevan. Kini bisa dilihat salinan putusan pengadilan (yang berkekuatan hukum tetap) bisa diakses siapa saja. (Baca juga: Arti Putusan Final dan Mengikat)

Mahkamah Agung pun sudah lama mencoba menyesuaikan diri dengan perkembangan teknologi informasi itu. Keterbukaan informasi adalah bagian pertama yang dibangun salah satu pelaku kekuasaan kehakiman ini. Beragam aplikasi menggunakan perangkat teknologi digunakan. Terbaru, adalah aplikasi SIWAS untuk pengawasan hakim dan SIPP untuk penanganan perkara. (Baca juga: Masukan untuk SIWAS yang Perlu Dicermati)

Mahkamah Konstitusi memperlihatkan proses peradilan yang efisien dalam hal penyerahan salinan putusan. Begitu selesai sidang, langsung ada salinan putusan resmi kepada para pihak. Publik dapat mengakses putusan itu satu dua jam kemudian. Semua itu berkat pemanfaatan sistem elektronik.

Karena itu pula, siapapun, kini tak bisa lagi ogah-ogahan mengetahui informasi dan transaksi elektronik. Manakala UU ITE berubah, dan menjadi UU No. 19 Tahun 2016, perhatian yang sama patut diarahkan, terutama oleh mereka yang bekerja di dunia hukum.

Imbasnya pun pada sumber daya manusia. Menurut Susskind, firma-firma hukum, kantor pengadilan, kepolisian dan kejaksaan, akan semakin membutuhkan banyak legal information engineers. Keberadaan ahli IT yang juga paham hukum, setidaknya, bisa mengantisipasi kemungkinan dampak buruk elektronik. Di Indonesia, misalnya, sudah cukup banyak orang yang terkena jerat UU ITE.

Dan pada setiap kasus itu ada pesan moral: era elektronik telah mengubah cara orang berhukum. 
Tags:

Berita Terkait