Kendati demikian, Bambang tetap khawatir SE tersebut berpotensi membuat rasa takut bagi publik ketika mengkritik rezim pemerintahan berkuasa. Soalnya boleh jadi SE Kapolri tersebut dapat dimaknai sebagai bentuk lain dari pendekatan keamanan untuk membungkam kebebasan masyarakat dalam mengemukan pendapatnya.
“Bahkan, ada asumsi bahwa SE Kapolri itu sebagai bentuk lain dari pasal mengenai larangan menghina presiden,” ujarnya.
Politisi Partai Golkar itu berpandangan, Kapolri beserta jajaran di bawahnya mesti memberikan jaminan terhadap publik agar SE tersebut tidak menyasar siapapun yang mengkritik pemerintah. Polri pun diminta membuat rumusan jelas dan tegas untuk membedakan makna kritik, fitnah, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut, dan penyebaran berita bohong.
“Tentu saja publik juga butuh jaminan bahwa SE Kapolri itu tidak akan disalahgunakan sebagai alat politik penguasa dan keluarganya. Presiden, Wakil Presiden, para menteri dan pejabat tinggi lainnya tidak boleh menunggangi SE Kapolri itu untuk membungkam arus kritik dari masyarakat,” ujarnya.
Direktur Eksekutif Solidarity Network for Human Rights (SNH) Advocacy Center, Sylviani Abdul Hamid, menilai SE tentang Penanganan Ujaran Kebencian mirip UU No. 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang telah dicabut pada masa awal reformasi.
Sylviani menduga SE tersebut ditujukan khusus pemuka agama yang cenderung memberikan ceramah tergolong radikal. “Dari poin-poin yang disampaikan dalam Surat Edaran itu, kita menduga ada kelompok yang dituju oleh Surat Edaran dan ada kelompok yang ‘merasa’ terlindungi,” ujarnya.
Sylviani meminta Kapolri segera mencabut SE tentang Penanganan Ujaran Kebencian. Soalnya segala perbuatan tindak pidana yang dimaksud SE sudah termaktub dalam KUHP dan berbagai UU lainnya. “Buat apa lagi, toh sudah diatur dan tersebar di dalam peraturan perundang-undangan lain. Apa mau menakut-nakuti masyarakat?,” pungkasnya.