Menetapkan Standar Baru Force Majeure dalam Perjanjian Sewa Pesawat
Kolom

Menetapkan Standar Baru Force Majeure dalam Perjanjian Sewa Pesawat

Sudah waktunya untuk meyakinkan para pemberi sewa pesawat di seluruh dunia untuk mulai menghapuskan klausa hell or high water dan turunan semacamnya.

Meskipun klausa seperti itu nampaknya sangat wajar untuk dimasukkan ke dalam suatu perjanjian jangka panjang dan bernilai tinggi, ketentuan tersebut amat jarang ditemukan dalam suatu perjanjian sewa pesawat komersial. Bahkan apabila ketentuan tersebut telah dimasukkan dalam perjanjian, penyusunan kata-kata yang membentuk klausul tersebut juga penting. Adagium the devil is in the detail berlaku.

Force majeure selalu dikaitkan dengan tindakan Tuhan (Act of God), atau dengan kata lain tindakan Tuhan dianggap sebagai bagian dari ketentuan force majeure itu sendiri. Tindakan Tuhan merupakan suatu istilah hukum yang dapat membebaskan pelaksanaan suatu kewajiban dalam kontrak, dan berlaku ketika bencana alam seperti banjir, gempa bumi, atau tornado yang begitu parah, sehingga akibatnya tidak dapat dicegah atau dihindari dengan kehati-hatian atau perkiraan yang wajar, sehingga pelaksanaan perjanjian menjadi tidak dimungkinkan. Bencana alam yang melibatkan intervensi manusia kemungkinan besar tidak berlaku untuk klausa ini.

Kini, timbul pertanyaan substansial terkait apakah pandemi ini merupakan bagian dari klausa force majeure atau tidak. Polemik tersebut dilanjutkan dengan menentukan apakah tindakan Pemerintah yang melarang warga negaranya untuk bepergian atau melarang maskapai untuk menerbangi rute tertentu, baik domestik maupun internasional, dapat diklasifikasikan sebagai tindakan Tuhan, dan dengan demikian merupakan bagian dari klausa force majeure, sehingga membebaskan suatu pihak dari kewajiban kontraktualnya.

Jawaban atas pertanyaan di atas akan beragam, tergantung bagaimana penyusunan kata-kata dalam klausa force majeure itu sendiri. Asumsi otomatis atau tersirat atas force majeure tidak diperbolehkan, sehingga hampir tidak mungkin bagi pengadilan untuk secara tersirat menyimpulkan adanya force majeure dalam suatu perjanjian sewa pesawat apabila para pihak terkait tidak pernah menyepakati keberadaan klausa tersebut.

Dengan mencermati hal-hal di atas, pelajaran pertama yang dapat diambil dari pandemi ini adalah penyusunan suatu klausa force majeure yang jelas, komprehensif, dan terinci dalam perjanjian sewa pesawat merupakan sesuatu yang mutlak dan wajib dilakukan. Hingga saat ini klausa tersebut dalam perjanjian sewa pesawat jarang ditemukan. Pandemi ini telah mengajarkan dan mendorong semua pemangku kepentingan di industri penerbangan, baik secara nasional maupun global, untuk mulai mendetailkan klausa force majeure dalam setiap perjanjian sewanya.

Berbicara spesifik bisnis sewa pesawat, klausa hell or high water memaksa penyewa atau maskapai untuk membayar biaya sewa kepada pemberi sewa terlepas dari keadaan tidak terduga yang mungkin dapat mempengaruhi operasional penyewa. Adanya klausa ini dalam perjanjian sewa akan membatalkan ketentuan force majeure dalam perjanjian yang sama.

Praktik penggunaan klausa ini yang telah lama berjalan (best practices) menjadikan seolah-olah klausa ini sebagai ketentuan yang wajib hadir serta tidak dapat diganggu gugat pihak maskapai ketika bernegosiasi dengan pemberi pinjaman – umumnya para perusahaan penyewa pesawat (aircraft lessor).

Tags:

Berita Terkait