Menetapkan Standar Baru Force Majeure dalam Perjanjian Sewa Pesawat
Kolom

Menetapkan Standar Baru Force Majeure dalam Perjanjian Sewa Pesawat

Sudah waktunya untuk meyakinkan para pemberi sewa pesawat di seluruh dunia untuk mulai menghapuskan klausa hell or high water dan turunan semacamnya.

Pandemi ini menghadirkan pelajaran berharga bahwa sudah waktunya untuk meyakinkan para pemberi sewa pesawat di seluruh dunia untuk mulai menghapuskan klausa hell or high water dan turunan semacamnya. Status quo akan klausa tersebut serta absennya klausa force majeure dalam suatu perjanjian sewa pesawat berpotensi menghambat pertumbuhan industri penerbangan pada masa mendatang. Setiap negara seyogianya akan mencoba untuk menemukan solusinya masing-masing demi menyelamatkan maskapai nasionalnya, serta tidak lagi menghiraukan persyaratan berat pemberi sewa.

Sebelum pandemi, International Air Transportation Association (IATA) memperkirakan Indonesia akan menjadi pasar perjalanan udara terbesar keempat di dunia pada 2039. Situasi ini bergantung pada penerbangan domestik yang masif, sementara nasib penerbangan internasional bergantung pada kebijakan perbatasan dan penerbangan negara tujuan pasca-pandemi.

Seandainya seluruh maskapai nasional dapat bersatu guna memformulasikan - tepatnya menghilangkan atau merevisi - klausul hell or high water untuk masa depan, rakyat Indonesia jelas akan diuntungkan. Secara realistis, langkah tersebut dapat ditempuh melalui forum Indonesian National Air Carrier Association (INACA). Sayangnya Dewan Penerbangan Nasional (DEPANRI) selaku forum terideal yang dapat menjembatani antar kementerian hingga swasta telah dibubarkan pada 2014.

Akhir kata, asa industri penerbangan Indonesia bangkit selalu ada. Pertanyaannya ialah dengan pengorbanan dan biaya sebesar apa. Memerangi korupsi dengan menekankan tata kelola perusahaan (good corporate governance) yang baik, yang mencakup perspektif hukum udara serta ekonomi transportasi udara, menjadi suatu urgensi.

Terkait Garuda Indonesia selaku flag carrier dan perusahaan terbuka, seyogianya publik memperoleh akses lebih dalam mengawasi kontrak baru flag carrier dengan pemberi sewa pesawat - termasuk keberadaan klausul hell or high water maupun force majeure dalam perjanjian sewa tersebut. Harapan lain ialah semoga tidak terlalu banyak campur tangan politik dalam memformulasikan kontrak serta memilih armada Garuda Indonesia ke depannya.

*)Ridha Aditya Nugraha dan Anggia Rukmasari, Air and Space Law Studies – International Business Law Program, Universitas Prasetiya Mulya. Founding partner Legalexica dan praktisi aircraft financing. Pandangan dalam artikel ini merupakan pribadi kedua penulis.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait