Gelar UI untuk Raja Saudi 'Digugat'
Berita

Gelar UI untuk Raja Saudi 'Digugat'

Rektor UI dianggap telah mengabaikan tragedi kemanusiaan yang menimpa WNI di Arab Saudi.

M-10
Bacaan 2 Menit
Gelar UI untuk raja Arab Saudi digugat. Foto: Ilustrasi (SGP)
Gelar UI untuk raja Arab Saudi digugat. Foto: Ilustrasi (SGP)

Minggu 21 Agustus 2011 lalu, Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof Gumilar Rusliwa Somantri berada di Arab Saudi. Gumilar di Arab Saudi bukan untuk melakukan ibadah umroh atau haji, melainkan mengantarkan gelar Doktor Honoris Causa dalam bidang perdamaian dan kemanusiaan kepada Raja Arab Saudi Abdullah bin Abdul Aziz.

 

Pemberian gelar doktor kehormatan ini memang di luar kebiasaan karena acara penganugerahannya tidak dilakukan di UI. Kali ini, penganugerahan dilakukan di Istana Al-Safa tempat Raja Abdullah berdiam.

 

Pemberian gelar tersebut pun menuai protes banyak pihak. Mereka protes tidak hanya mengenai acara penganugerahannya yang tidak lazim, melainkan juga karena alasan pemberian anugerah tersebut. Gumilar menyatakan Raja Abdullah telah berhasil memajukan Arab Saudi hingga menjadi pusat peradaban Islam moderat, mewujudkan kesetiakawanan negara Arab dan upaya kerasnya dalam merealisasikan perdamaian di Palestina.

 

“Raja Abdullah juga telah berhasil mempromosikan dialog antar penganut agama untuk menciptakan perdamaian dunia dan menyerukan para pemimpin Islam dan non-Islam untuk menghapus stereotip teroris kepada agama Islam. Tidak kalah penting adalah peran Raja Abdullah pada masalah kemanusiaan dan kemajuan iptek,” tandas Gumilar.

 

LSM Migrant Care dengan 44 LSM lainnya mengecam langkah UI tersebut. Dalam siaran persnya, Ketua Migrant Care Anis Hidayah menilai pemberian gelar tersebut menunjukkan mental yang memperbudak bangsa sendiri dan menjunjung setinggi-tingginya orang lain yang jelas-jelas tidak menghormati kedaulatan dan martabat bangsa sendiri.

 

“Bagi masyarakat Indonesia, Saudi Arabia adalah negara yang tidak menghormati hak asasi manusia. Masih segar di ingatan kita, pemancungan Ruyati yang melanggar norma-norma internasional. Kondisi yang seperti ini sama sekali tidak terlepas dari pemegang otoritas politik tertinggi, yaitu Raja Abdullah. Dengan demikian, sungguh Rektor Universitas Indonesia telah mengabaikan nurani bangsa ini yang belum surut dari duka mendalam atas tragedi kemanusiaan yang menimpa warga negara Indonesia di Arab  Saudi,” papar Anis dalam siaran pers.

 

Migrant Care bersama sejumlah LSM lainnya mendesak DPR melalui Komisi IX dan Komisi X untuk memanggil Rektor UI agar dapat memberikan penjelasan. Rektor UI, menurut Anis, harus menjelaskan apa sesungguhnya yang menjadi latar belakang pemberian penghargaan itu. Migrant Care menduga ada semacam barter.

 

Turut mengkritik, sebagaimana dilansir www.republika.co.id, Anggota Komisi IX DPR RI Rieke Dyah Pitaloka berpendapat UI sebagai lembaga akademis seharusnya melakukan kajian mengenai permasalahan TKI di Arab Saudi. Kemudian, hasilnya diberikan kepada pemerintah sebagai bahan masukan dan kajian untuk mengambil kebijakan. "Aneh, kok bisa gelar itu diberikan," kata Rieke.

 

Kritik tidak hanya dari kalangan luar, di lingkungan UI sendiri sejumlah tokoh juga mempertanyakan pemberian gelar ini. Guru Besar Fakultas Ekonomi UI Mayling Oey, pengajar sosiologi UI Thamrin Amal Tomagola, pengajar ilmu komunikasi UI Effendi Gazali menilai Raja Abdullah tidak pantas menerima gelar tersebut karena tak punya kontribusi dalam bidang kemanusiaan terutama dalam perlindungan tenaga kerja migran.

 

“Seharusnya Rektor itu bertindak atas nama warga UI, tapi ini warga tidak tahu. Bagaimana ini pertanggungjawabannya? Malah saya kaget baru lihat beritanya. Saya sebagai perempuan dan warga negara Indonesia, sangat-sangat terluka. Saya bisa merasakan pedihnya. Rektor UI yang harusnya jadi teladan malah memberikan suatu yang di luar perkiraan manusia yang wajar,” ujar Mayling Oey.

Tags: