Giliran Aturan Eksekusi Hak Tanggungan Dipersoalkan di MK
Berita

Giliran Aturan Eksekusi Hak Tanggungan Dipersoalkan di MK

Majelis meminta para pemohon memperjelas kerugian konstitusionalnya akibat berlakunya Pasal 14 ayat (3), Pasal 20 ayat (1) UU Hak Tanggungan dalam uraian kasus konkrit.

Agus Sahbani
Bacaan 2 Menit

“Sehingga, pernyataan wanprestasi atau cidera janji sejatinya tidak boleh hanya atas penilaian dari kreditur secara sepihak,” sebutnya.

Dengan begitu, para pemohon menilai apabila debitur bisa membuktikan dirinya lalai melakukan prestasi bukan karena kehendaknya, tapi akibat adanya keadaan memaksa (overmacht/force majeure) diperlukan ruang memperoleh keadilan dan kepastian hukum (melalui pengadilan).

Para pemohon menganalogikan dengan pertimbangan Putusan MK No. 18/PUU-XVII/2019 tentang pengujian UU Jaminan Fidusia yang menyatakan aspek konstitusional yang terdapat dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999 tidak mencerminkan adanya pemberian perlindungan yang seimbang antara pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian fidusia dan objek jaminan fidusia baik perlindungan hukum dalam bentuk kepastian hukum maupun keadilan. (Baca Juga: MK: Eksekusi Jaminan Fidusia untuk Menghindari Kesewenangan Kreditur)

Sebab, dua elemen mendasar yang terdapat dalam pasal itu yaitu “title kekuatan eksekutorial” atau “dipersamakannya dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap” dapat berimplikasi langsung dilaksanakannya eksekusi yang seolah-olah sama dengan putusan inkracht oleh penerima fidusia tanpa perlu meminta bantuan pengadilan untuk pelaksanaan eksekusi.

“Hal tersebut telah mengabaikan hak debitur yang seharusnya juga mendapat perlindungan hukum yang sama yaitu hak mengajukan/mendapat kesempatan pembelaan diri atas adanya dugaan telah terjadinya cidera janji atau wanprestasi.”

Menurutnya, Putusan MK No. 18/PUU/XVII/2019 itu memiliki pemaknaan yang sama terhadap Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan. Artinya, pemberi hak tanggungan atau debitur tidak diberi ruang melakukan pembelaan diri atas terjadinya wanprestasi. Penilaian cidera janji ditentukan secara sepihak dan eksklusif oleh kreditur tanpa memberi kesempatan debitur mengajukan sanggahan/pembelaan ini bertentangan dengan pertimbangan Mahkamah dalam putusan tersebut.

Para pemohon meminta Pasal 14 ayat (3) UU Hak Tanggungan sepanjang frasa “kekuatan eksekutorial” dan frasa “sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai “terhadap objek jaminan Hak Tanggungan yang tidak ada kesepakatan tentang cidera janji karena debitur mengalami keadaan memaksa (overmacth/force majeure), maka debitur diberi hak membuktikannya di pengadilan sebelum eksekusi Jaminan Hak Tanggungan dilakukan”.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait