Mengenal Gugatan Nafkah dalam Hukum Perkawinan
Utama

Mengenal Gugatan Nafkah dalam Hukum Perkawinan

Istri yang tidak dinafkahi suaminya dapat mengajukan gugatan nafkah, tanpa perlu membuat gugatan cerai. Sisi positif dibolehkannya gugatan nafkah adalah utuhnya biduk rumah tangga.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit

Andi menambahkan, gugatan nafkah juga dapat diajukan jika anak butuh biaya sekolah tetapi ayah tidak mau membiayai, padahal ia mampu membiayai. Yang paling penting dalam gugatan nafkah adalah pembuktian. Harus jelas berapa penghasilan suami serta berapa nafkah yang layak diberikan untuk istri dan anak.

Jadi, atas nafkah yang tidak diberikan oleh seorang ayah, maka keluarga dapat mengajukan gugatan nafkah agar kewajiban tersebut dapat diberikan oleh seorang ayah sesuai dengan penghasilannya.

Selain itu, ayah yang meninggalkan kewajibannya terhadap keluarganya juga dapat dijerat Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang mengatur: Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

Bagi yang melanggar ketentuan tersebut, diancam pidana penjara maksimal 3 tahun atau denda maksimal Rp 15 juta. Tak hanya ancaman pidana, jika ditinjau lebih jauh dari perspektif Islam, karena memberikan nafkah sesuai kemampuan hukumnya wajib laki-laki selaku ayah dan suami, sehingga jika tidak dilaksanakan, maka hukumnya dosa ayah tidak menafkahi anak.

Hal ini sesuai dengan kaidah al ahkam al khamsah, yang mengatur 5 macam kaidah yang menilai mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam Islam, salah satunya yaitu wajib, yang merupakan kaidah hukum yang berlaku di lingkungan hukum duniawi. Dalam lingkup keagamaan yang meliputi kesusilaan dan hukum duniawi ini, yang memberi sanksi adalah Tuhan, baik di dunia maupun di akhirat kelak berupa pahala dan dosa, demikian yang disampaikan oleh Mohammad Daud Ali dalam buku Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (hal. 145-152).

Tags:

Berita Terkait