Mengenal Gugatan Nafkah dalam Hukum Perkawinan
Utama

Mengenal Gugatan Nafkah dalam Hukum Perkawinan

Istri yang tidak dinafkahi suaminya dapat mengajukan gugatan nafkah, tanpa perlu membuat gugatan cerai. Sisi positif dibolehkannya gugatan nafkah adalah utuhnya biduk rumah tangga.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 3 Menit
Mengenal Gugatan Nafkah dalam Hukum Perkawinan
Hukumonline

Perkawinan dalam hukum merupakan suatu hubungan ikatan lahir batin antara seorang wanita dan pria sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk sebuah keluarga. Dalam perkawinan terdapat kewajiban dan hak yang harus dipenuhi masing-masing setiap pasangan. Dalam hukum Indonesia, pengaturan kewajiban dan hak dalam perkawinan diantaranya terdapat pada Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Salah satu kewajiban yang diatur dalam perundang-undangan tersebut yaitu keharusan suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. Bahkan, bagi yang beragama Islam, kewajiban suami memberikan nafkah diatur lebih spesifik dalam Pasal 80 ayat (4) Kompilasi Hukum Islam (KHI). Dijelaskan dalam KHI bahwa yang mengatur bahwa sesuai dengan penghasilannya, suami menanggung nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi istri, biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan istri dan anak; dan biaya pendidikan bagi anak.

Seperti dalam artikel Klinik Hukumonline berjudul “Langkah Hukum Jika Ayah Tidak Menafkahi Anak dan Istrinya”, jika ditarik lebih jauh ke belakang, ketentuan dalam KHI di atas bersumber dari Al Qur’an Surah An-Nisa ayat 34, yang merupakan salah satu sumber hukum Islam, yang berbunyi: Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki), telah memberikan nafkah dari hartanya…

Terkait ayat di atas, merujuk pada tafsir Al-Qur’an Kementerian Agama, yang dapat diakses dari aplikasi Qur’an Kemenag atau laman Al-Qur’an Kemenag, dijelaskan bahwa kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah, bertanggung jawab penuh terhadap kaum perempuan yang menjadi istri dan yang menjadi keluarganya. Oleh karena itu wajib bagi setiap istri menaati suaminya selama suami tidak durhaka kepada Allah. Apabila suami tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya, maka istri berhak mengadukannya kepada hakim yang berwenang menyelesaikannya.

Baca juga:

Sejalan dengan ketentuan di atas, Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan memberikan hak kepada istri untuk mengajukan gugatan nafkah ke pengadilan jika seorang ayah tidak memberi nafkah kepada anak dan istri yang menjadi kewajibannya. Bagi yang beragama Islam, gugatan dapat diajukan ke Pengadilan Agama pada domisili/tempat kediaman suami selaku tergugat. Sedangkan bagi yang beragama selain Islam, gugatan diajukan ke Pengadilan Negeri.

Perlu diperhatikan, gugatan nafkah dapat dilakukan tanpa mengajukan gugatan cerai seperti yang disarikan dari artikel Hukumonline “Kejarlah Nafkah Sampai ke Pengadilan”. Hakim Mahkamah Agung, Andi Syamsu Alam berpendapat, istri yang tidak dinafkahi suaminya dapat mengajukan gugatan nafkah, tanpa perlu membuat gugatan cerai. Sisi positif dibolehkannya gugatan nafkah adalah utuhnya biduk rumah tangga. Hakim selaku pemutus sengketa selalu menekankan agar pasangan suami istri yang ingin bercerai membatalkan niatnya.

Andi menambahkan, gugatan nafkah juga dapat diajukan jika anak butuh biaya sekolah tetapi ayah tidak mau membiayai, padahal ia mampu membiayai. Yang paling penting dalam gugatan nafkah adalah pembuktian. Harus jelas berapa penghasilan suami serta berapa nafkah yang layak diberikan untuk istri dan anak.

Jadi, atas nafkah yang tidak diberikan oleh seorang ayah, maka keluarga dapat mengajukan gugatan nafkah agar kewajiban tersebut dapat diberikan oleh seorang ayah sesuai dengan penghasilannya.

Selain itu, ayah yang meninggalkan kewajibannya terhadap keluarganya juga dapat dijerat Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) yang mengatur: Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut.

Bagi yang melanggar ketentuan tersebut, diancam pidana penjara maksimal 3 tahun atau denda maksimal Rp 15 juta. Tak hanya ancaman pidana, jika ditinjau lebih jauh dari perspektif Islam, karena memberikan nafkah sesuai kemampuan hukumnya wajib laki-laki selaku ayah dan suami, sehingga jika tidak dilaksanakan, maka hukumnya dosa ayah tidak menafkahi anak.

Hal ini sesuai dengan kaidah al ahkam al khamsah, yang mengatur 5 macam kaidah yang menilai mengenai benda dan tingkah laku manusia dalam Islam, salah satunya yaitu wajib, yang merupakan kaidah hukum yang berlaku di lingkungan hukum duniawi. Dalam lingkup keagamaan yang meliputi kesusilaan dan hukum duniawi ini, yang memberi sanksi adalah Tuhan, baik di dunia maupun di akhirat kelak berupa pahala dan dosa, demikian yang disampaikan oleh Mohammad Daud Ali dalam buku Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia (hal. 145-152).

Tags:

Berita Terkait