Gugurnya Legal Standing Sang "Macan Asia"
Kolom

Gugurnya Legal Standing Sang "Macan Asia"

MK seharusnya berani menyatakan bahwa memang Capres No. 1 tidak lagi mempunyai hak untuk mengajukan permohonan hasil Pilpres karena yang bersangkutan telah menarik diri.

Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Demokrasi bisa sangat menyakitkan. Terutama bagi yang tidak mendapatkan suara terbanyak. Konsekuensi dari suatu pemilu yang demokratis tidaklah berpihak kepada yang kalah. Banyak alasan dan ulasan mengapa suatu kampanye yang pembiayaan memakan banyak dana bisa kalah. Alasan yang paling sering dipakai dan paling sering mendapat simpati dari para pemilihnya adalah bahwa pemilu diselewengkan dan dicurangi oleh pihak lawannya. Atau ada kekuatan-kekuatan "konspirasional" yang menyokong pihak "sana".

Tidak jarang pula kemudian sang pemimpin dan kelompok pendukungnya mempercayai hal tersebut. Mereka cepat-cepat dan sering kali terburu-buru mengambil suatu keputusan dan tindakan yang nampaknya tegas dan kuat, tapi ternyata menjadi bumerang bagi kampanye sang pemimpin mereka.

Demokrasi juga membawa banyak mimpi. Mimpi indah tentunya apabila pemimpin mereka menang, tapi mimpi itu menjadi mimpi buruk apabila calonnya tidak lolos atau kalah suara dari lawannya. Yang pertama-tama terkena adalah ego sang pemimpin mereka. Perasaan yang tadinya melambung tinggi tiba-tiba jatuh dan pecah tercerai-berai setelah mengetahui bahwa ia kalah.

Jenderal Prabowo, Calon Presiden nomor urut 1 mungkin tahu ia akan kalah atau ia mendapat bisikan lain yang langsung ia percayai. Apapun sebabnya, tepat pada rekapitulasi penghitungan suara dan sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan pemenang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Indonesia (Pilpres) tahun 2014, Sang Jenderal dengan bergelora menyatakan bahwa ia menarik diri dari Pilpres.

Seluruh dunia yang menyaksikan heran dan ingin mengetahui mengapa ia menarik diri. Berita keesokan hari dari tim sukses No. 1 justru meralat pernyataan pemimpin mereka itu. Yang dimaksud, kata kubu No. 1, hanya menarik diri dari proses penghitungan dan pengumuman pemenang oleh KPU dan meminta saksi-saksi untuk mengundurkan diri. Prabowo-Hatta tidak menarik diri dari Pilpres itu sendiri. Insiden ini banyak menaruh perhatian para ahli hukum terutama hukum tata negara.

Hal ini disebabkan bahwa dalam Undang-Undang No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tercantum Pasal 246 yang bunyinya saya sarikan sebagai berikut: Setiap capres atau cawapres yang dengan sengaja mengundurkan diri setelah pemungutan suara putaran pertama sampai dengan pelaksanaan pemungutan suara putaran kedua bisa dipindanakan (paling lama 72 bulan) dan didenda (paling banyak 100 milyar rupiah).

Tindakan ini segera menarik perhatian para ahli hukum tata negara, termasuk Prof. Yusril Ihza Mahendra yang secara tegas menyatakan bahwa menarik diri adalah mengundurkan diri dari Pilpres. Bila demikian adanya bagaimana dengan kedudukan Prabowo sebagai capres? Saya tidak mencantumkan Hatta di sini karena ia tidak ikut dalam pernyataan tersebut.

Tapi, sebagaimana kita lihat tim sukses dan capres itu sendiri kemudian menganggap tidak ada pernyataan Prabowo ini dan bermain dengan kata-kata. Tentunya bila hal ini dipermasalahkan oleh KPU atau tim hukum dari pihak terkait dari pasangan Capres-Cawapres No. 2, maka Prabowo Subianto tidak lagi dapat dikatakan sebagai capres dan segala hak sebagai capres akan gugur dan ia dapat dipindanakan dan didenda karena telah menciderai proses Pilpres tahun 2014 ini.

Permainan kata-kata hampir pasti tidak berakhir pada masalah "menarik diri" ini. Pasal 246 UU Pilpres menyebut dua putaran (..putaran pertama sampai dengan putaran kedua). Argumen yang mungkin dicoba akan dibangun oleh Tim Hukum Prabowo di Mahkamah Konstitusi (MK) adalah bahwa keberlakuan pasal ini hanya semata-mata apabila ada dua putaran saja, dan bila seperti sekarang satu putaran pasal ini tidak dapat dipergunakan sebagai dasar untuk menuntut Prabowo.

Interpretasi substansial tidak akan digubris oleh Tim Hukum Prabowo karena memang selain tidak menguntungkan juga akan membuat Prabowo tidak mempunyai legal standing atau dasar hukum untuk tampil di MK karena persyaratan capres gugur dengan sendirinya bila ia mengundurkan diri. 

Ada beberapa intepretasi yang dikenal dalam hukum dan selain dari pengertian harafiah dari suatu undang-undang atau peraturan perundangan-undangan, pendekatan substansi dari suatu pasal atau undang-undang. Pada dasarnya, pendekatan ini menekankan atau mengacu kepada konteks kejadian di masyarakat dan menyandingkannya dengan melihat maksud tujuan dari suatu pasal tersebut.

Dalam hal ini, tidak salah apabila kita mengambil intepretasi substansial dengan menekankan pada pengertian bahwa apabila hanya ada satu putaran saja maka kalimat "putaran pertama sampai dengan ... putaran kedua" secara substansi dapat diabaikan saja. Lebih-lebih intepretasi substansi hukum yang menyeluruh dapat diterima karena memang ada putusan MK yang menyatakan bahwa Pilpres untuk kali ini dilakukan hanya dengan satu kali putaran saja.

Di sini demokrasi bisa menyakitkan karena bagaimanapun argumentasi para pihak terkait dan KPU para hakim MK akan memutuskan apakah Prabowo Subianto setelah menyatakan menarik diri kehilangan hak sebagai calon presiden dan dengan demikian tidak ada legal standing untuk mengajukan permohonan ke MK.

Melihat pembahasan di atas seharusnya MK berani menyatakan bahwa memang Capres No. 1 tidak lagi mempunyai hak untuk mengajukan permohonan hasil Pilpres (PHPU) karena yang bersangkutan telah menarik diri. Kadang-kadang sebagai politikus memang harus melihat dalam-dalam makna peribahasa kita, mulutmu adalah harimaumu. Bila "digigit" oleh MK, demokrasi benar-benar akan menyakitkan, bahkan untuk Sang Macan Asia sekalipun.

* Anggota Koalisi Advokat untuk Demokrasi
Tags:

Berita Terkait