Hak Bersidang Secara Langsung di Pengadilan Tinggi dalam Perkara Pidana
Kolom

Hak Bersidang Secara Langsung di Pengadilan Tinggi dalam Perkara Pidana

Pemeriksaan persidangan di pengadilan tinggi sebagai peradilan ulangan yang dilakukan oleh judex factie merupakan bagian dari upaya menemukan kebenaran materiil.

Bacaan 4 Menit

Sejatinya, baik penuntut umum maupun terdakwa mempunyai hak untuk hadir guna memberikan keterangan dalam rangka membuktikan dan meyakinkan hakim pada pemeriksaan di pengadilan tinggi. Dalam Pasal 238 ayat (4) KUHAP, secara expressive verbis menyatakan bahwa “jika dipandang perlu pengadilan tinggi mendengar sendiri keterangan terdakwa atau saksi atau penuntut umum dengan menjelaskan secara singkat dalam surat panggilan kepada mereka tentang apa yang ingin diketahuinya”. Meskipun norma tersebut dapat ditafsirkan secara deskriptif bahwa kehadiran penuntut umum, terdakwa atau saksi tergantung kepentingan dan keputusan hakim sehingga menjadi hak bagi hakim untuk menentukan, namun apabila ditafsirkan secara ekstensif, norma tersebut tidak menghalangi para pihak, yakni penuntut umum, terdakwa atau saksi untuk mengajukan permohonan agar dapat memberikan keterangan dalam rangka membuktikan dan meyakinkan hakim pada pemeriksaan di pengadilan tinggi. Permohonan tersebut dapat disertakan terpisah atau dituangkan dalam memori atau kontra memori banding.

Sesungguhnya, pemeriksaan di pengadilan tinggi oleh judex factie merupakan peradilan ulangan yang memeriksa dan mengadili fakta-fakta persidangan seperti halnya pada pemeriksaan di pengadilan negeri. Hal tersebut pun telah dinyatakan secara normatif-yuridis dalam dalam Pasal 6 UU No. 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan yang menyatakan “Dari putusan-putusan Pengadilan Negeri di Jawa dan Madura tentang perkara perdata, yang tidak ternyata, bahwa besarnya harga harga gugat ialah seratus rupiah atau kurang, oleh salah satu dari pihak-pihak yang berkepentingan diminta, supaya pemeriksaan perkara diulangi oleh Pengadilan Tinggi yang berkuasa dalam daerah masing-masing.” Begitupun dalam Pasal 15 ayat (1) UU No. 20 Tahun 1947 tentang Pengadilan Peradilan Ulangan menyatakan bahwa Pengadilan Tinggi dalam pemeriksaan ulangan memeriksa dan memutuskan dengan tiga hakim, jika dipandang perlu, dengan mendengarkan sendiri kedua belah pihak atau saksi.” 

Terakhir dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 951K/Sip/1973 tanggal 9 Oktober 1975 menimbang bahwa “Cara pemeriksaan perkara perdata di tingkat banding-pengadilan tinggi yang hanya memeriksa keberatan-keberatan yang diajukan oleh pembanding saja adalah salah. Seharusnya Majelis Hakim Banding juga melakukan pemeriksaan ulang atas seluruh perkara tersebut baik faktanya maupun penerapan hukumnya yang telah diputuskan oleh hakim tingkat pertama”.

Oleh karena, pemeriksaan persidangan di pengadilan tinggi sebagai peradilan ulangan yang dilakukan oleh judex factie merupakan bagian dari upaya menemukan kebenaran materiil (material warheid) dengan menguji fakta-fakta menjadi fakta hukum yang dijadikan dasar untuk memintai pertanggungjawaban pidana kepada terdakwa, maka sejatinya para pihak yang berkepentingan mempunyai hak untuk hadir langsung guna membuktikan secara langsung di persidangan. Bagaimanapun Goldstein dan Peter Hoefnagels (dalam Eddy O.S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, Erlangga, Jakarta) menyatakan bahwa dalam konteks pembuktian kejahatan dikenal adanya postulat in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores, yang bermakna dalam perkara-perkara pidana, bukti-bukti harus lebih terang daripada cahaya.

*)Dr. Muh. Ibnu Fajar Rahim, S.H., M.H., adalah Jaksa pada Biro Hukum & Hubungan Luar Negeri/Dosen President University.

Artikel Kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait