​​​​​​​Hak Mewaris Anak Angkat Menurut Hukum Perdata, Hukum Islam dan Hukum Adat
Seluk Beluk Hukum Keluarga

​​​​​​​Hak Mewaris Anak Angkat Menurut Hukum Perdata, Hukum Islam dan Hukum Adat

UU Perlindungan Anak menganut prinsip ‘demi kepentingan terbaik untuk anak’, tetapi pengangkatan anak tidak memutus hubungan darahnya dengan orang tua kandung. Hak mewaris bagi anak angkat berbeda-beda dalam sistem hukum.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Tujuan perkawinan adalah meneruskan keturunan, tetapi ada orang tak memiliki keturunan. Biasanya pasangan suami-isteri melakukan pengangkatan anak. Dalam konteks pengangkatan anak dikenal istilah adopsi. Pengangkatan diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan, bahkan dikenal dalam sistem hukum perdata umum, hukum Islam, dan hukum adat.

Pengangkatan anak termasuk hukum keluarga yang banyak mendapat perhatian dari para pemangku kepentingan. Tidak hanya oleh Kementerian Sosial, tetapi juga Mahkamah Agung. Perhatian semacam itu tidak lepas dari munculnya beragam masalah yang berkaitan dengan anak angkat, apalagi jika sudah berkaitan dengan pewarisan. Persoalannya berkisar pada hak-hak anak angkat dalam pembagian waris. Tidak jarang, persoalan hak waris anak angkat bermuara ke pengadilan. Dalam kaitan itulah Mahkamah Agung menerbitkan beleid yang relevan.

Sekadar contoh dapat disimak kisah berikut. Pasangan suami isteri, AP dan UK, telah bertahun-tahun menikah tak dikaruniai anak. Alhasil, keduanya memutuskan mengangkat anak atas persetujuan orang tua bayi tersebut. Bayi perempuan ini, sebut saja inisialnya SW, diasuh dan dibesarkan sebagaimana layaknya anak kandung. Nama di belakangnya pun menggunakan nama ayah angkatnya. Sembilan tahun setelah SW diangkat, pasangan AP-UK, mendapat anugerah. UK melahirkan anak perempuan, dan dua tahun kemudian disusul anak perempuan lainnya. Alhasil, AP-UK mengasuh tiga orang anak perempuan. Pasangan suami isteri ini berhasil mendidik anak-anak mereka, hingga lulus dari perguruan tinggi.

Belakangan, setelah AP meninggal dunia, terjadi perselisihan mengenai sebuah rumah permanen yang berdiri di atas lahan 2.295 meter persegi. Semasa hidupnya ternyata AP sudah menghibahkan rumah dan tanah itu kepada anak angkatnya tanpa persetujuan isteri. Karena itu, anak angkat digugat oleh isteri dan dua anak kandung almarhum ke Pengadilan Agama. Selaku tergugat, anak angkat ber[endapat kalau para penggugat menganggap rumah dan tanah tersebut sebagai harta warisan yang dapat dibagi seharusnya hibah dipersoalkan sejak AP masih hidup. Toh, Pengadilan Agama Pekanbaru memutuskan hibah yang diberikan AP semasa hidupnya batal. Pengadilan banding dan kasasi hasilnya tak jauh beda. Upaya peninjauan kembali yang diajukan anak angkat ditolak Mahkamah Agung.

Kasus riil yang diputuskan Mahkamah Agung pada November 2009 ini menunjukkan problema hukum yang mungkin terjadi dalam hubungan anak angkat dengan keluarga angkatnya.  Untuk mencegah kompleksitas masalah hukum yang terjadi, misalnya, Mahkamah Agung menerbitkan Surat Edaran No. 02 Tahun 2009 tentang Kewajiban Melengkapi Permohonan Pengangkatan Anak dengan Akta kelahiran.

UU No. 23 Tahun 2002 tentang Pengangkatan Anak, sebagaimana diubah UU No. 35 Tahun 2014 menganut prinsip the best interest of the child, untuk kepentingan terbaik si anak. Berkaitan dengan hak waris, Pasal 39 UU Perlindungan Anak penting untuk dicatat: Pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua kandungnya.

KUH Perdata tidak mengatur secara khusus hak waris anak angkat, tetapi ia berhak mendapatkan bagian melalui hibah wasiat. KUH Perdata hanya mengatur pengakuan terhadap anak luar kawin. Belanda pernah mengaturnya dalam Staatsblad No. 129 Tahun 1917 yang berlaku untuk golongan Tionghoa.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait