Mengulas Polemik Wasiat Wajibah untuk Ahli Waris Beda Agama
Seluk Beluk Hukum Keluarga

Mengulas Polemik Wasiat Wajibah untuk Ahli Waris Beda Agama

​​​​​​​MA menerapkan hukum Islam kontemporer, apabila orang tua beragama berbeda dengan anak, maka dianggap meninggalkan wasiat wajibah.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 7 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Kematian seseorang menimbulkan akibat hukum kewarisan. Dalam kewarisan ada peralihan harta dan pembagian harta pewaris kepada ahli waris. Peralihan harta peninggalan pewaris dan pembagiannya kepada ahli waris tidak hanya dilihat dari orang yang menerima harta waris, tetapi juga yang menghalangi ahli waris untuk mendapatkan harta warisan. Selain peralihan harta peninggalan sesuai bagian masing-masing sebagaimana disebutkan dalam QS surat An-Nisa, ada peralihan harta peninggalan dengan cara wasiat.  

Dalam QS surat al-Baqarah ayat 180 disebutkan “Kalau kamu meninggalkan harta yang banyak, diwajibkan bagi kamu apabila tanda-tanda kematian datang kepadamu untuk berwasiat kepada ibu bapak dan karib kerabatnya secara baik”. Dalam ayat tersebut secara eksplisit mengandung arti bahwa wasiat adalah kewajiban orang-orang yang bertakwa kepada-Nya. Tetapi, kalangan ulama fuqaha (ahli fikih) berbeda pendapat tentang hukum wasiat ini dengan merujuk dalil hadits-hadits yang dikemukakan.

Mengutip artikel berjudul “Wasiat Wajibah dalam Kewarisan Islam di Indonesia” yang ditulis oleh Syafi’i, disebutkan wasiat begitu penting dalam kewarisan Islam karena tidak hanya diatur QS surat al-Baqarah, tetapi juga QS surat an-Nisa ayat 11, 12, 176. Dalam ayat-ayat ini disebutkan kedudukan wasiat harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum pembagian harta peninggalan pewaris kepada anak/anak-anak, duda, janda/janda-janda, dan saudara/saudara-saudara pewaris. Secara definisi, wasiat sebagai pernyataan atas keinginan pewaris sebelum kematian atas harta kekayaannya setelah meninggalnya nanti.

Wasiat dalam sistem hukum Islam di Indonesia hanya diatur dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) seperti termuat dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991. Wasiat diatur dalam Bab V Pasal 194-209 KHI. Pasal 194 ayat (1) KHI disebutkan orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat, dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga (nonahli waris).

Pasal 195 KHI menyebutkan wasiat dilakukan secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan Notaris. Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan, kecuali apabila semua ahli waris menyetujui. Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris. Pernyataan persetujuan ini pun dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi, atau tertulis di hadapan dua orang saksi, atau di hadapan Notaris. Sedangkan Pasal 209 KHI mengatur wasiat yang khusus diberikan untuk anak angkat atau orang tua angkat. Wasiat jenis ini lazim disebut wasiat wajibah.

Selengkapnya Pasal 209 KHI berbunyi “Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.”

Hakim Mahkamah Syar’iyah Tapaktuan Aceh Selatan, Yasin Yusuf Abdillah, dalam artikelnya  berjudul “Wasiat Wajibah Ahli Waris Beda Agama dalam Tinjauan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi: Kajian Putusan Nomor 2/Pdt.G/2011/PA-Kbj”, berpandangan dalam perkembangan praktik peradilan wasiat wajibah tak hanya diberikan kepada anak angkat atau orang tua angkat, tetapi wasiat wajibah bisa diberikan kepada ahli waris yang berbeda agama dengan pewaris.   

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait