Mengulas Polemik Wasiat Wajibah untuk Ahli Waris Beda Agama
Seluk Beluk Hukum Keluarga

Mengulas Polemik Wasiat Wajibah untuk Ahli Waris Beda Agama

​​​​​​​MA menerapkan hukum Islam kontemporer, apabila orang tua beragama berbeda dengan anak, maka dianggap meninggalkan wasiat wajibah.

Oleh:
Agus Sahbani
Bacaan 7 Menit

Perkara ini bermula ketika suami yang beragama Islam meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri beragama nonmuslim, ibu kandung dan saudara-saudara kandung, serta harta warisan terdiri dari harta bergerak dan harta tidak bergerak. Harta warisan almarhum tersebut dikuasai Tergugat (istri). Pihak Penggugat (ibu kandung dkk) sudah berusaha dan memohon kepada Tergugat agar membagi harta tersebut, tetapi Tergugat tidak menyetujuinya bahkan berupaya memiliki semua harta warisan secara melawan hukum.

Untuk menyelesaikan sengketa waris antara isteri/menantu dengan ibu kandung dan saudara-saudara kandung ini, Penggugat pada 31 Juli 2008 mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama Makassar untuk menetapkan ahli waris dan pembagiannya dari harta warisan almarhum tersebut. Dengan putusan mengabulkan untuk menetapkan ahli waris dan pembagiannya, sedangkan Tergugat tidak mendapatkan waris karena nonmuslim.  Tergugat yang merasa tidak puas, akhirnya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Agama Makassar.

Di tingkat banding putusan Pengadilan Agama Makassar dikuatkan. Dengan putusan tersebut Tergugat masih merasa tidak puas karena tidak mendapatkan warisan dari suaminya, sehingga Tergugat mengajukan kasasi ke MA. Pertanyaannya, dapatkah isteri almarhum (tergugat) mendapat bagian harta waris, padahal istri almarhum tersebut adalah non muslim?

Menurut Majelis, perkawinan Pewaris dengan Pemohon kasasi sudah cukup lama yaitu 18 tahun, berarti cukup lama pula Pemohon Kasasi mengabdikan diri pada pewaris. Karena itu, walaupun Pemohon Kasasi nonmuslim layak dan adil untuk memperoleh hak-haknya selaku isteri untuk mendapat bagian dari harta peninggalan melalui wasiat wajibah serta bagian harta bersama sebagaimana yurisprudensi MA dan sesuai rasa keadilan.

Persoalan kedudukan ahli waris nonmuslim sudah banyak dikaji oleh kalangan ulama diantaranya ulama Yusuf Al-Qardhawi yang menafsirkan orang-orang non-Islam yang hidup berdampingan dengan damai tidak dapat dikatagorikan kafir harbi. Demikian halnya Pemohon Kasasi bersama pewaris semasa hidup bergaul secara rukun damai meskipun berbeda keyakinan. Karena itu, patut dan layak Pemohon Kasasi memperoleh bagian dari harta peninggalan pewaris melalui wasiat wajibah.  

Menerapkan Islam kontemporer

Dalam artikel Hukumonline berjudul “Hak Waris pada Keluarga Beda Agama Masih Diperdebatkan”, mantan Ketua Kamar Agama MA, Andi Syamsu Alam pernah mengatakan MA menerapkan hukum Islam kontemporer (pemikiran modern), apabila orang tua beragama berbeda dengan anak, maka dianggap meninggalkan wasiat (1/3 harta warisan, red) yang disebut sebagai wasiat wajibah.


“Kita bertolak dari KHI ada istilah wasiat wajibah. Kita tetapkan seperti itu dan itu sudah menjadi yurisprudensi. Secara eksplisit tidak tertulis dalam KHI. Hanya lembaga wasiat wajibah dipinjam untuk itu. Yang memutuskan ini pertama kali Pengadilan Tinggi Agama Jakarta. Ini sudah menjadi preseden, dikutip di seluruh Indonesia,” kata Andi pada November 2005 silam.

Tags:

Berita Terkait