Hakim Agung Kamar Agama: “Kawin Kontrak” itu Prostitusi Berkedok Agama
Utama

Hakim Agung Kamar Agama: “Kawin Kontrak” itu Prostitusi Berkedok Agama

Kawin kontrak sudah diharamkan lewat fatwa Majelis Ulama Indonesia pada 25 Oktober 1977. Juga tidak memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1 jo Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

CR-20
Bacaan 2 Menit
Kawin kontrak dianggap tidak memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 1 jo Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Abdul Manan, kawin kontrak bukanlah ikatan lahir dan batin, dilakukan bukan dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan yang sah menurut hukum positif yang berlaku di Indonesia adalah yang sesuai dengan hukum agama dan hukum Negara, serta dicatatkan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini dibuat untuk menutup serapat-rapatnya peluang untuk melakukan nikah mut’ah, atau yang biasa dikenal dengan istilah kawin kontrak.Kawin kontrak menurut Manan, tidak lain adalah praktek prostitusi bahkan merupakan sebuah bentuk kekerasan secara seksual terhadap perempuan dengan legitimasi agama. Karena nyatanya, kawin kontrak ini didahului dengan transaksi seperti jual beli sebuah produk atau menyewakan barang. Dengan demikian menurut Manan, kawin kontrak ini sangat dekat dengan jual beli perempuan dan anak.“Praktek kawin kontrak di Indonesia tidak lain merupakan eksploitasi perempuan,” kata Abdul Manan. Hakikat perkawinan ini seperti praktek prostitusi karena ada tawar-menawar terkait dengan mahar. Pandangan masyarakat dalam melihat kawin kontrak ini menurut Manan, tidak lain merupakan bentuk prostitusi terselubung dengan dalil legitimasi agama. (Baca juga: Kawin Kontrak dan Mail-Order Bride Merupakan Bentuk Perdagangan Orang)Kawin Kontrak sudah diharamkan lewat fatwa MUI pada 25 Oktober 1977. Dalam fatwanya, MUI menyatakan bahwa pelaku nikah mut’ah harus dihadapkan ke meja pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) juga telah menyatakan bahwa kawin kontrak haram hukumnya dalam Islam. Alasannya, kawin kontrak dapat diindikasikan dengan kegiatan pelacuran atau perdagangan manusia terselubung (trafficking) yang mencari dalil pembenaran. Beberapa ulama bahkan dengan tegas menyebutnya sebagai perzinahan.Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat (BIMAS) Islam Kementerian Agama, Machasin, dalam forum yang sama juga memberikan dasar syariat yang menguatkan pendapat Abdul Manan. Machasin menyatakan, “Tidak ada ayat dalam Al-Qur’an yang secara eksplisit membolehkan ataupun melarang nikah mut’ah. Sementara para ulama mendudukkan persoalan nikah mut’ah ini secara kontekstual dengan mendudukkan masalahnya. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa larangan untuk melakukan nikah mut’ah memiliki dasar pemikiran yang lebih mapan, karena lebih banyak mudharat dibandingkan manfaatnya.”Machasin mengisahkan peristiwa keluarnya larangan melakukan nikah mut’ah pada masa kekhalifan Umar Ibn Khatab. “Nikah Mut’ah dilarang oleh Umar karena ada peristiwa yang mendasarinya. Seorang perempuan yang menjadi korban dari nikah mut’ah menceritakan kepada Umar bahwa suaminya yang menjadi pelaku nikah mut’ah ini telah menelantarkan istrinya ketika dalam keadaan hamil. Sedangkan isterinya tersebut tidak bisa menuntut pertanggungjawaban apapun terhadap penelantaran yang dilakukan oleh suaminya. Oleh karena peristiwa itulah, Umar kemudian mengeluarkan larangan melakukan nikah mut’ah untuk selama-lamanya,” kata Machasin mengisahkan. (Baca juga: Perlu Ada Sanksi Tegas Bagi Pelanggan PSK)Sementara dalam praktek nikah mut’ah di Indonesia menurut Machasin, unsur fiqihnya terutama mengenai syarat-syarat pernikahan tidak terpenuhi. Dalam pernikahan menyaratkan adanya wali nikah yang sah, namun dalam kawin kontrak, sembarang orang bisa menjadi wali nikah. Pernikahan dikatakan sah juga berdasarkan keabsahan yang dinyatakan oleh otoritas keagamaan. Sehingga kawin kontrak bukan merupakan sebuah bentuk pernikahan yang sah menurut tuntunan syariat Islam.Abdul Manan menyatakan, ia mengusulkan untuk membuat ketentuan hukum yang mengatur mengenai sanksi terhadap pelaku kawin kontrak. Karena di dalam UU Perkawinan belum diatur ketentuan mengenai sanksi terhadap pelaku kawin kontrak. Namun melakukan revisi UU Perkawinan bukan pekerjaan mudah. Proses penyusunan UU Perkawinan yang pertama saja memakan waktu hingga 3 tahun dengan perdebatan dari berbagai sudut pandang. Sebagian kalangan menginginkan kelonggaran syariat dalam UU Perkawinan, sementara sebagian yang lain justru menginginkan ketentuan syariat ini diperketat.
Tags: