HKTI Nilai PP Gambut Rugikan Kebun Sawit Rakyat
Berita

HKTI Nilai PP Gambut Rugikan Kebun Sawit Rakyat

Kriteria kerusakan yang ada dalam PP tersebut dinilai tidak didasarkan pada kajian ilmiah yang mendalam dan komprehensif.

Oleh:
ANT/YOZ
Bacaan 2 Menit
Personel TNI dari Batalyon Infanteri 200/Raider Kodam II/Sriwijaya berupaya memadamkan kebakaran lahan gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu (14/11). Api kebakaran juga sempat merembet ke kebun milik warga.
Personel TNI dari Batalyon Infanteri 200/Raider Kodam II/Sriwijaya berupaya memadamkan kebakaran lahan gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu (14/11). Api kebakaran juga sempat merembet ke kebun milik warga.
Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) mengklaim Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, tidak bisa diaplikasikan di lapangan karena berdampak mematikan usaha perkebunan masyarakat, terutama komoditi kelapa sawit di Provinsi Riau.

"Misalkan salah satu aturan pembatasan muka air 0,4 meter pada PP (Peraturan Pemerintah) tersebut merupakan ancaman serius karena tidak bisa diaplikasikan di Iapangan. Dampaknya usaha pertanian dan perkebunan masyarakat serta perusahaan pasti mati karena tidak mungkin diikuti," kata Didik Hariyanto dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) pada acara "Forum Group Discussion" di Pekanbaru, Selasa (24/1).

Diskusi itu turut dihadiri oleh para pakar ilmu tanah dan gambut dari Himpunan Gambut Indonesia (HGI), Humpunan llmu Tanah Indonesia (HITI), Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasl Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, akademisi dan praktisi pertanian, perkebunan dan hutan tanaman. (Baca Juga: Revisi PP, Pemerintah Perketat Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut)

Menurut Didik, seharusnya pemerintah melindungi kepentingan masyarakat dan dunia usaha dengan kebijakan yang pro rakyat dan pro pertumbuhan yang bisa diaplikasikan serta mendorong pertumbuhan ekonomi.

"Kenyataannya berbeda. PP tersebut justru berpotensi mematikan semua kegiatan masyarakat dan perusahaan di sektor pertanian, perkebunan dan hutan tanaman. Karena itu, semua pihak termasuk masyarakat perlu melakukan gugatan kelompok (class action) atas putusan pemerintah tersebut," kata dia lagi. (Baca Juga: 5 Putusan Pengadilan Terkait Kebakaran Lahan)

Didik mengatakan bahwa pelaksanaan PP tersebut berpotensi sebagai acuan menghukum kegiatan budidaya di lahan gambut karena adanya kriteria kerusakan lahan gambut tersebut. "Masalahnya kriteria kerusakan yang ada dalam PP tersebut tidak didasarkan pada kajian ilmiah yang mendalam dan komprehensif. Kriteria tersebut tidak akan mampu dipenuhi oleh para pihak yang melakukan kegiatan budidaya di lahan gambut karena memang tidak mungkin. sehingga akhirnya dapat dijadikan alasan pelanggaran hukum dan rawan diskriminasi," katanya menambahkan.

Di sisi lain, Peneliti Badan Penelitian Pengembangan dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Prof Chairil Anwar Siregar mengemukakan, PP tersebut secara substansial seharusnya mampu menjawab persoalan pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya berkelanjutan. (Baca Juga: Pemerintah Disarankan Ajukan Gugatan Strict Liability Atas Kebakaran Lahan)

"Ini karena sebagian areal gambut berpotensi untuk kegiatan budidaya berkelanjutan, dan sejalan dengan kenyataan bahwa pertumbuhan populasi penduduk Indonesia yang terus bertambah memerlukan lahan untuk kebutuhan hidupnya," ucapnya.

Chairil berpendapat, upaya produksi dan konservasi seharusnya bisa bersinergi untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan. Semua pihak harus rasional dalam melihat persoalan yang ada. Pemerintah tidak perlu terlalu menonjolkan usaha konservasi secara berlebihan karena kegiatan produksi sama pentingnya dalam pengelolaan ekosislem gambut secara lestari.

Pernyataan senada dikemukakan pengajar Universitas Riau Wawan, pemberlakuan PP tersebut akan membawa konsekuensi bagl masyarakat Riau karena dipastikan sebagian besar lahan masyarakat akan berubah menjadi fungsi lindung dan tidak dapat dlgunakan untuk kegiatan budidaya.

Menurut Wawan, secara historis sebagian masyarakat Riau mengembangkan ekonomi, sosial dan budayanya dengan membudidayakan lahan gambut bagi berbagai keperluan. Oleh karena itu kondisi penggunaan lahan gambut di Riau saat ini merupakan hasil proses interaksi masyarakat dengan lahan gambut dalam rentang waktu yang sangat panjang sejak sebelum kemerdekaan sampai sekarang.

Wawan menambahkan dari 3.867 juta hektare lahan gambut di Riau lebih dari 75 persen merupakan gambut dalam yang akan berubah fungsi menjadi kawasan lindung. "Perubahan fungsi itu, tidak sekedar menurunkan produksi, tetapi bisa mematikan pendapatan masyarakat. Selain, itu, daya saing industri di Indonesia juga menurun," bebernya.

Sependapat dengan Wawan, Zaimi dari Pusat Penelitian Perkebunan Gambut dan Pedesaan Universitas Riau menambahkan bahwa kalau kriteria lindung seperti yang saat ini ada di PP tersebut diimplememasikan, maka lahan budidaya di Riau yang mayoritas berupa lahan gambut akan dijadikan kawasan lindung sehingga hal ini berpotensi besar menimbulkan konflik sosial.

Ada juga persoalan lain yang tidak kalah pentingnya, definisi kerusakan dalam PP 57/2016 jo. PP 71/2014 menimbulkan persoalan dalam implementasinya karena tidak mungkin diterapkan, khususnya mengenai keharusan mengatur muka air tidak boleh lebih dari 0,4 meter sepanjang waktu. "Di ekosistem gambut alami saja hal tersebut mustahil terjadi," tegasnya.

Ia menilai penerapan ketentuan tersebut tidak hanya akan berdampak pada pelaku usaha di lahan gambut, namun juga semua kegiatan termasuk perkebunan rakvat dan pemukiman.

Tags:

Berita Terkait