I Dewa Gede Palguna:
Apa yang Telah Kita Perjuangkan, Hancur dalam Satu Detik
Profil

I Dewa Gede Palguna:
Apa yang Telah Kita Perjuangkan, Hancur dalam Satu Detik

Kata Pak Laica: “Menitik Air mata saya, young brother.”

ALI/RFS (HOLE)
Bacaan 2 Menit
Eks Hakim MK I Dewa Gede Palguna di ruang kerjanya. Foto: SGP
Eks Hakim MK I Dewa Gede Palguna di ruang kerjanya. Foto: SGP

Penangkapan (mantan) Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK sudah lewat dari sebulan. Hingga saat ini, Akil masih mendekam di tahanan KPK dengan status tersangka. Efek dari kasus ini diprediksi akan berdampak besar, yakni runtuhnya kepercayaan masyarakat terhadap MK.  

Saking kesalnya, Ketua MK jilid pertama Jimly Asshiddiqie bahkan telah bersuara lantang, “Hukum Mati!”. Jimly, beserta para hakim MK generasi pertama, tentu patut kecewa. Institusi yang telah dibangun dengan susah payah itu akhirnya harus tercoreng gara-gara kasus ini.

Pada Kamis (31/10), Hukumonline  berkesempatan menemui salah seorang Hakim MK generasi pertama I Dewa Gede Palguna. Dari tempatnya ‘menyepi’ di Bali, yang jauh dari hiruk pikuk kasus di Jakarta, Palguna menyuarakan kekecewaannya. Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana (Unud) ini juga berharap MK, secara institusi, mampu bangkit dari keterpurukan ini. Berikut wawancaranya: 

Bagaimana perasaan dan reaksi Anda ketika mendengar penangkapan Akil Mochtar?
Terus terang saya sedih. Begitu mendengar penangkapan itu, saya langsung SMS teman-teman hakim konstitusi (generasi pertama,-red). Saya tentu saja SMS Pak Jimly, kemudian Pak Wakil Ketua Laica Marzuki dan teman-teman lain.

Waktu itu saya tulis “Apa yang telah kita bangun dan perjuangkan dari nol dengan sangat berat, dan ketika kita sudah pada posisi publik begitu percaya kepada MK, lalu jatuh atau hancur dalam satu detik.”

Lalu, Pak Laica yang membalas. Karena saya punya panggilan kesayangan dari Pak Laica, dia panggil saya ‘young brother’. Beliau bilang “Ya, young brother, menitik air mata saya.”

Jadi, memang sangat mengejutkan dan sekaligus menyedihkan buat saya itu bisa terjadi. Pukulannya berat sekali buat saya, buat kami yang di awal di generasi pertama.

Apa masih sering komunikasi dengan Hakim MK generasi awal?
Iya. Kita masih cukup sering berkomunikasi. Paling tidak lewat SMS. Terutama kepada Prof Natabaya ketika beliau masih sehat. Saya sering kontak dan beliau masih sering telepon saya. Dengan Prof Laica, saya sering juga.

Dengan prof Jimly juga masih sering komunikasi. Dengan Prof Mukthie juga sering komunikasi karena kebetulan ulang tahun saya masih sama dengan prof Mukthie.

Ada rencana hakim MK generasi pertama untuk turun tangan menyelesaikan masalah ini? Suara yang baru terdengar baru Pak Jimly?
Sampai sini belum ada rencana apa-apa dari kami hakim MK generasi pertama. Tapi kami selalu membuka diri andaikata misalnya dari segi pemikiran apa yang diperlukan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat, dan sekaligus juga “membenahi” suasana di MK sekarang. Kami selalu terbuka untuk diskusi dan sebagainya.

Dan dalam beberapa hal, secara pro aktif, saya dan beberapa teman lain juga sudah menyampaikan saran-saran itu. Secara lisan paling tidak dengan teman-teman hakim konstitusi yang sekarang. Karena paling tidak dengan Pak Harjono selaku hakim MK pertama (yang masih menjadi hakim MK,-red), sangat dekat. Dan dengan Prof Arif Hidayat, hakim MK yang baru, saya pribadi cukup dekat dengan beliau, dan sudah saya sampaikan itu.

Misalnya, andaikata ada rencana untuk bertemu, kami bersedia. Sebenarnya, begitu penangkapan terjadi, kami hakim MK generasi pertama diundang juga. Cuma saya waktu itu, tiket saya sudah punya, tapi penerbangan ke Jakarta tak ada. Karena bersamaan dengan APEC jadi ada banyak penerbangan yang di-cancel.

Maksudnya, diundang ke MK?
Waktu sebelum rencana pembentukan majelis kehormatan itu. Begitu peristiwanya terjadi, kami diundang, tapi tak sempat datang. Bukan tidak mau. Sebenarnya mau, tapi nggak bisa terbang

Bagaimana cara me-recovery kepercayaan masyarakat terhadap MK? Ada saran?
Kalau menurut saya, sebenarnya itu sudah kami sampaikan waktu saya masih ada di sana, waktu 2007 atau 2008. Ada pertemuan dengan Komisi III kala itu, saya sarankan agar seleksi hakim konstitusi itu dibuat sedemikian rupa ketatnya, karena waktu itu saya ingat pengalaman ada kasus hakim konsitusi Jerman.

Ada seorang hakim konstitusi Jerman yang berpandangan nyeleneh. Dan kemudian jadi perdebatan dan persoalan, salah satunya berkaitan dengan persoalan penyiksaan. Kalau nggak salah, ada statement bahwa hakim yang terpilih ini pernah membuat tulisan atau artikel yang ternyata di dalam artikel itu, dia mengatakan dalam batas tertentu masih bisa memahami adanya penyiksaan. Cuma ngomong itu aja, tapi sudah cukup membuat keributan. Padahal itu ditulis jauh hari sebelum dia menjadi hakim MK.

Itu yang saya coba ingatkan, coba Anda lihat satu-satunya pejabat negara di republik ini yang disebutkan secara spesifik harus seorang negarawan itu hakim konstitusi. Bahkan, seorang presiden tak disebutkan begitu. Terlepas apapun dari definisi kita tentang negarawan. Itu menunjukkan kehendak UUD bahwa ini penjaga gerbang konstitusi tak main-main.

Sekarang baru kemudian orang ribut-ribut mempersoalkan seleksi yang harus ketat. Padahal, waktu saya sampaikan sepertinya nggak dapat tanggapan.

Karena waktu itu rapat dengan DPR, saya juga sarankan agar seleksi hakim konstitusi di DPR itu jangan hanya menunggu orang mendaftar. Karena saya kira banyak guru besar yang mumpuni. Dia akan rikuh bila dia disuruh mendaftar. Kesannya dia kayak orang-orang cari pekerjaan. DPR harus yang pro aktif ke sana. Mungkin minta persetujuan apakah anda bersedia dicalonkan atau tidak. Lalu baru di seleksi DPR.

Tapi itu pun tak cukup oleh DPR. Akan lebih cantik bila dilakukan oleh tim seleksi yang dibentuk utk itu, baru karena DPR punya kewenangan secara politis, DPR yangg memutus. Proses seleksi harus dari awal.

Bagaimana dengan Perppu MK, Anda setuju?
Ada kompleksitas dengan KY. Ini tinjauan historisnya, dulu kenapa KY dirancangan awalnya dalam amandemen UUD 1945 akan dimasukan ke Pasal 24C. Di Pasal 24A hakim agung, Pasal 24B hakim Konstitusi, Padal 24C tentang KY. Padahal waktu sidang-sidang di PAH I (Panitia Ad Hoc I), KY dibentuk dalam rangka utk menjaga martabat keluhuran hakim agung. Kalau ditempatkan di Pasal 24C seolah-olah ini mencakup hakim konstitusi. Makanya ditukar (KY di Pasal 24C, dan MK di Pasal 24C,-red).

Kedua, ketika membahas UU MK, pada waktu itu Pak Jimly –belum menjadi hakim MK- jadi tim ahli. Beliau yang sarankan bahwa KY itu harus mengawasi hakim konstitusi, tetapi semua fraksi di DPR tak setuju. Ingatannya masih lekat dengan proses perdebatan di MPR mengenai KY. Nah, sehingga tak disetujui waktu itu bahwa KY termasuk juga mengawasi hakim konstitusi. Seluruh fraksi nggak setuju. Itu penafsiran historis.

Cuma, ada problem secara ketatanegaraan kalau KY dilibatkan awasi hakim konstitusi. KY adalah lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD yang berpotensi bersengketa di MK. Kan bisa jadi conflict of interest itu. Itu problem konstitusional yang saya lihat.

Persoalannya, saya lebih setuju dengan pembentukan Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang bersifat permanen itu. Menurut saya, lebih bagus. Anggotanya kalau bisa seluruh orang luar. Kami waktu pertama kali terpilih, belum punya gedung, belum punya pegawai dan belum punya anggaran, tapi dua perarturan MK yang pertama salah satunya adalah tentang majelis kehormatan.

Pada waktu itu, kami sudah membuat anggota majelis kehormatan lima orang. tiga orang dari luar. Karena kami sadar, kami perlu diawasi. Cuma yang mengawasi siapa? Ya, jangan KY donk. Kan ada problem ketatanegaraan tadi.

Tapi, waktu itu bentuknya tak permanen?
Tidak. Karena undang-undang tak menyebutkan itu. Itu inisiatif dari kami karena kami kewenangannya besar dan perlu diawasi. Ada kesadaran kami saja.

Ada aturan dalam Perppu bahwa politisi yang ingin menjadi hakim MK harus ada jeda waktu selama tujuh tahun. Anda setuju?
Saya setuju itu. Bahwa pada dasarnya setiap warga negara itu memang berpolitik, bahkan tak masuk parpol pun sebagai sikap politik, tapi ikatan dengan partai itu sebisa atau semaksimal mungkin harus dijauhkan. Dia kan diharapkan menjadi negarawan. Kalau terlalu dekat dengan parpol, secara nalar biasa, orang bisa mengira dia kemungkinan bisa bertindak tidak imparsial. Syarat imparsialitas itu kan syarat utama dari kode etik yang kemudian dirumuskan secara rinci ke dalam kode perilaku seorang hakim. Itu general principle yang diakui dunia dalam Bangalore Principle (kode etik hakim sedunia,-red).

Jadi, saya tak keberatan dengan itu. Yang tak setuju juga kan mereka yang dari partai-partai politik.

Tapi, dulu bukannya hakim generasi pertama ada yang mempunyai kaitan dengan parpol?
Saya misalnya dekat dengan PDIP.

Iya, tapi dulu tak masalah?
Ini kan upaya preventif. Upaya ini harus diikuti dengan seleksi yang lebih ketat. Itu lebih bagus. Barangkali memang syarat tujuh tahun kalau dianggap berat, ini akan bisa tereleminasi sedikit, apabila tim independen yang menyeleksi itu benar-benar diberi kewenangan besar melakukan seleksi secara penuh sampai membuat semacam prioritas atau urutan.

Jadi, kalau seleksi sudah ketat, bisa juga.

Karena sebenarnya, akhirnya nanti kan ada atau urusan kaitan dengan parpol itu juga akan dengan sendirinya, tak akan terlalu berpengaruh karena putusan hakim kan harus pleno, sembilan hakim. Jadi kalau dia lain sendiri, akan tampak. Dia dissenting sendiri. Dibaca terbuka dan wajib tertulis dalam putusan.

Saya lebih melihat syarat tujuh tahun itu, walau saya setuju, sebagai psikologis saja. Dulu pernah ada yg kritik kami, ini tiga dari presiden, tiga dari DPR, tiga dari MA. Lalu, dilihat putusannya memihak kemana, ternyata tidak. Ini acak. Nggak bisa dilihat. Yang kelihatan adalah madhzab hakimnya. Misalnya, Pak Maruarar menurut pandangan orang dia yang seharusnya lebih legalistik karena dia hakim karier, tapi ternyata terbalik (Maruarar lebih progresif).

Di Jerman, afiliasi hakim terpilih tampak kok. Kalau nggak dia sosial demokrat, atau kristen demokrat. Tapi dalam putusannya, tak bisa lagi dilihat itu. Kita kan mau menuju kesana juga. Bagi saya. Kalau syarat itu ada, saya oke, kalau pun tak ada ya tak masalah juga. Itu masalah psikologis saja.

Menurut Anda, beda MK sekarang dengan yang lalu apa?
Sekarang kewenangan MK ditambah dengan menangani sengketa pemilukada. Sehingga, seperti yang ditulis Prof Saldi Isra justru tampak, putusan MK untuk kewenangan yang seharusnya menjadi mahkotanya dalam hal ini pengujian undang-undang, justru dilihat banyak orang menjadi menurun (kualitasnya).

Saldi mengatakan kalau dulu membaca pertimbangan hukum pengujian undang-undang itu, mereka seperti baca disertasi.

Saya nggak tahu sekarang bagaimana. Saya tak pernah tanyakan khusus. Tapi, waktu kami dahulu, terutama untuk perkara pengujian undang-undang yang menurut kami serius, itu bisa sampai empat atau lima kali kami ini brainstorming. Diskusinya panjang di rapat permusyarawatan hakim. Itu belum mengambil putusan. DIskusi dulu.

Anda boleh tanya panitera yang sekarang. Masing-masing hakim bawa bukunya, bawa bukunya masing-masing. Pak Natabaya bawa buku ini. Semua argumen intelektual muncul dalam perdebatan itu. Misalnya, ketika kami putus UU Ketenagalistrikan yang bikin geger itu karena munculnya ultra petita. Itu perdebatan panjang sekali. Kita gunakan teleconference untuk pertama kali. Ahli ada yang dari inggris dan AS. Begitu seriusnya kami dulu membuat putusan.

Saya menduga hal seperti itu porsinya berkurang. Kalau pun niat itu ada, kan diganggu dengan perkara pilkada ini. PUU menjadi seolah-olah “tersisih”, padahal itulah kewenangan utamanya. Di seluruh dunia itu, kewenangan MK yang selalu ada adalah pengujian undang-undang. Kalau kewenangan lain itu tambahan. Kewenangan pengujian undang-undang selalu ada di MK sedunia.

Jadi, menurut Anda, kewenangan Sengketa Pilkada itu tak perlu ditangani MK?
Pikiran saya legalistik. Karena Pasal 22E itu disebutkan bahwa pemilihan umum dilakukan untuk memilih anggota DPR, DPRD, DPD. Tapi kan teman-teman di DPR memasukan istilah pemilukada.

Tags:

Berita Terkait