Fraud Membuat EoDB Tak Lagi Prestisius
Terbaru

Fraud Membuat EoDB Tak Lagi Prestisius

Pemerintah perlu melakukan perubahan sudut pandang investasi dari yang dahulu lebih fokus pada investasi global, kini beralih ke investasi dalam negeri.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

World Bank memutuskan untuk menghentikan pelaksanaan survei kemudahaan berusaha atau Ease of Doing Business (EoDB) setelah diduga terjadi kecurangan atau fraud dalam proses penilaian oleh internal. Selama ini hasil survei EoDB selalu dijadikan suatu negara sebagai patokan kemudahaan berinvestasi, termasuk Indonesia.

Ekonom INDEF Eko Listiyanto menilai langkah World Bank menghentikan proses survei tahunan terkait EoDB merupakan keputusan yang tepat setelah ditemukan adanya dugaan kecurangan. World Bank hars menggunakan metode yang lebih transparan dan akuntabel jika ingin terus melanjutkan survei EoDB.

“Penting sekali untuk menghentikan sementara, harus ada metode yang lebih transparan dan mungkin harus satu ukuran. Kalau tidak dihentikan surveinya, maka hasilnya tidak krdibel. Ini dihentikan untuk menjaga reputasi dan krdibilitas dari laporan ini,” kata Eko kepada Hukumonline, Selasa (21/9).

Menurut Eko, pemeringkatan EoDB yang dilakukan oleh World Bank merupakan salah satu indikator global paling prestisius untuk para investor. Sebelum skandal ini mencuat ke publik, peringkat EoDB merupakan standar sekaligus guidance yang digunakan oleh investor untuk mengambil keputusan terkait investasi. (Baca: Kantor Hukum WilmareHale dan Temuan Penyimpangan Survei EoDB)

Terjadinya fraud survei EoDB membuka kemungkinan bagi World Bank untuk melakukan perubahan terkait indikator-indikator yang selama ini menjadi patokan bagi investor. Namun demikian Eko menyebut skandal ini bisa menurunkan reputasi EoDB, dimana hasil survei World Bank tidak dipandang sebagai sesuatu yang prestisius layaknya sebelum peristiwa kecurangan terjadi. Hal ini tentunya akan mempengaruhi pandangan investor terhadap hasil EoDB yang dikeluarkan oleh World Bank.

Di Indonesia sendiri, hasil survei EoDB dijadikan sebagai rujukan dalam membuat ragam kebijakan khususnya bidang ekonomi. Contohnya saja pembentukan Undang-Undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang bertujuan untuk meningkatkan peringkat EoDB Indonesia.

Eko melihat indikator-indikator EoDB yang dikeluarkan oleh World Bank masih sangat relevan untuk situasi perekonomian Indonesia. Jika nanti terjadi perubahan, hal tersebut dinilai tidak terlalu berdampak terhadap ekonomi Indonesia. Hanya saja pemerintah perlu merubah sudut pandang investasi dari yang dahulu fokus pada investasi global, kini beralih ke investasi dalam negeri.

Perubahan sudut pandang itu perlu dilakukan mengingat tak ada jaminan proses pemeringkatan EoDB bebas dari kecurangan. Tanpa mengabaikan indikator dan rekomendasi dari World Bank, Eko menyebut pemerintah harus membuat kebijakan yang sesuai dengan kultur dan situasi ekonomi internal Indonesia.

“Survei EoDB itu ‘kan hanya sampel, untuk menilai Indonesia hanya dari sampel beberapa kota. Pemerintah harus memikirkan agenda sendiri, bagaimana kita bisa menggaet investor global tetapi dengan adanya skandal ini jadi tidak percaya dengan hasil pemeringkatan. Pemerintah bisa mengembangkan potensi internal, penanam modal dalam negeri,” jelas Eko.

Sejauh ini, lanjut Eko, kebijakan-kebijakan yang mengarah kepada investasi salah satunya UU Ciptaker berupaya untuk menarik minat investasi global. Tetapi saat pandemi Covid-19 melanda investor lokal menjadi pemain utama yang masuk ke sektor Surat Berharga Negara (SBN), sementara keterlibatan investor asing mengalami penurunan sebesar 50 persen dan hanya tersisa 24 persen.

“UU Ciptaker itu orientasi untuk menarik global tinggi sekali, padahal kekuatan ekonomi Indonesia ada di PMDN yang meningkat selama pandemi. Ini perlu dipertimbangkan. Menurut saya Indonesia bisa survive dengan memacu investor dalam negeri, tanpa menutup kompetisi dengan asing, jangan ada diskriminasi,” ujar Eko.

Hal ini bukan dimaksud untuk mengabaikan rekomendasi dari World Bank di sektor investasi. Namun, Eko menegaskan pemerintah harus mampu melakukan review ulang terhadap rekomendasi World Bank, tentunya dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi dalam negeri.

“Ekonomi Indonesia itu yang lebih tahu ya orang Indonesia itu sendiri. Bukan berarti mengabaikan tapi review ulang rekomendasi yang diberikan apakah cocok atau tidak. Ke depannya pemerintah jangan hanya fokus pada EoDB, tapi harus melihat indeks yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga yang ada di Indonesia walaupun tidak spesifik ke investor, bisa juga dilibatkan lembaga independen,” jelasnya.

Sebelumnya, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahil Lahadalia, mengatakan sebenarnya ada cara lain yang dilakukan Bank Dunia dalam memberikan penilaian kemudahan berusaha. Penilaian itu bukan melakukan survei melainkan dengan metode lain. Namun, ia mengaku masih menunggu petunjuk teknisnya.

Lebih lanjut, Bahlil meyakini saat ini dunia melihat Indonesia tidak seperti dulu lagi. Terlebih dengan adanya UU Cipta Kerja yang diklaim akan dapat mendorong kemudahan berinvestasi.

"Saya punya keyakinan bahwa hari ini dunia melihat Indonesia tidak seperti dulu. Hari ini dunia melihat dengan pemberlakuan UU Cipta Kerja Indonesia semakin kompetitif dalam konteks bagaimana mengurus izin atau insentif ataupun men-set pola pikir birokrasi pejabat-pejabat Indonesia. Sudah bagus ini. Memang belum, 100 persen bagus. Kita harus berjuang ke sana," katanya beberapa waktu lalu.

Tags:

Berita Terkait