Business Judgment Rule, Alasan di Balik Lepasnya Eks Dirut Pertamina di Tingkat Kasasi
Berita

Business Judgment Rule, Alasan di Balik Lepasnya Eks Dirut Pertamina di Tingkat Kasasi

Hakim bersuara bulat yang dilakukan Karen bukan tindak pidana.

Oleh:
Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Karen Agustiawan. Foto: RES
Karen Agustiawan. Foto: RES

Mahkamah Agung (MA) telah memutuskan dugaan korupsi atas nama terdakwa Karen Agustiawan. Mantan Dirut Pertamina itu divonis lepas dari tuntutan, yang berakibat ia harus dikeluarkan dari tahanan. Juru Bicara MA Andi Samsan Nganro mengatakan putusan tersebut diketok pada Senin, 9 Maret 2020 oleh lima hakim agung yaitu Suhadi sebagai ketua majelis, Krisna Harahap, Abdul Latif, Mohammad Askin dan Sofyan Sitompul selaku anggota. Para hakim agung berpendapat apa yang dilakukan Karen merupakan risiko bisnis sehingga bukan merupakan tindakan pidana. Putusan ini sendiri bersuara bulat, tidak ada satu pun hakim agung menyatakan dissenting opinion.

“Apa yang dilakukan Terdakwa Karen adalah Business Judgement Rule (BJR)  dan perbuatan itu bukan merupakan tindak pidana,” kata Andi Samsan saat dikonfirmasi hukumonline.

Andi mengatakan, menurut majelis kasasi putusan direksi dalam suatu aktivitas perseroan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Meskipun, pada akhirnya keputusan itu merugikan keuangan bagi perseroan termasuk BUMN seperti yang dananya merupakan penyertaan keuangan negara, hal itu merupakan risiko bisnis. “Bertolak dari karakteristik bisnis yang sulit untuk diprediksi (unpredictable) dan tidak dapat ditentukan secara pasti,” pungkasnya.

(Baca juga: Kenali Esensi dan Penerapan Business Judgment Rule).

Kuasa hukum Karen, Soesilo Ariwibowo mengamini jika lepasnya klien memberikan penegasan apa yang dilakukan kliennya merupakan Business Judgement Rule sehingga bukan merupakan tindak pidana. “Iya, sejak awal kami mengatakan tindakan Bu Karen bukan pidana,” ujarnya.

Langkah akuisisi terhadap Blok BMG juga dianggap sebagai pelaksanaan doktrin atau prinsip 

Business Judgement Rule (BJR) dalam UU Perseroan Terbatas. Prinsip ini merupakan cermin kemandirian dan diskresi dari direksi perseroan dalam memberikan putusan bisnisnya yang sekaligus merupakan perlindungan bagi direksi dalam menjalankan tugas-tugasnya.

"Pasal 92 dan Pasal 97 UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) terkait dengan BJR, pada intinya mengatur bahwa direksi tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya hanya karena alasan salah dalam memutuskan (mere error of judgement) atau hanya karena alasan kerugian perseroan, artinya kalaupun direksi perseroan dalam perkara a quo, dianggap terdapat kekeliruan dalam putusan bisnis dan menimbulkan kerugian terhadap perseroan atau bahkan terhadap kerugian negara karena PT Pertamina adalah BUMN maka menurut undang-undang perseroan terbatas yang telah menganut prinsip BJR ini, direksi tidak dapat dimintai pertanggungjawaban," terang Soesilo dalam nota pembelaannya pada sidang di Pengadilan Tipikor beberapa waktu lalu.

Justifikasi parameter legal soal BJR sendiri, dapat dilihat pada Pasal 97 ayat (5) dan Pasal 114 ayat (5) UU PT yang mengatur batasan-batasan tertentu soal kapan direksi dan komisaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas risiko keputusan atau tindakan pengawasan yang telah mereka ambil. Berdasarkan ketentuan ini, anggota direksi tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kerugian jika dapat membuktikan tiga hal. Pertama, kerugian timbul bukan karena kelalaiannya. Kedua, telah melakukan pengurusan perseroan dengan iktikad baik (good faith) dan kehati-hatian untuk kepentingan dan sesuai dengan tujuan perseroan. Ketiga, tidak mempunyai benturan kepentingan baik langsung maupun tidak langsung atas tindakan pengurusan yang mengakibatkan kerugian (loyalty). Keempat, telah mengambil tindakan untuk mencegah timbul atau berlanjutnya kerugian.

Tags:

Berita Terkait