Ide Penggunaan E-voting dalam Pemilu Perlu Dikaji Ulang
Berita

Ide Penggunaan E-voting dalam Pemilu Perlu Dikaji Ulang

Di Belanda, pada 2006 muncul gelombang protes dan kampanye “we don’t trust the machince” untuk mempertanyakan penggunaan e-voting.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HGW
Ilustrasi: HGW

Wacana penggunaan electronic voting (e-voting) pada pemilu berikutnya kembali muncul. Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, pada diskusi Urgensi Mewujudkan Pilkada Demokratis dan Berkualitas: Tantangan dan Harapan beberapa waktu lalu mengatakan bahwa e-voting diperlukan untuk menekan biaya tinggi pemilu. 

 

Direktur Eksekutif Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengungkapkan, selama ini argumen efisiensi tata kelola pemilu dengan mengurangi tingginya biaya penyelenggaran, meringankan beban penyelenggara, dan mempercepat proses rekapitulasi suara selalu disebut sebagai tujuan yang hendak dicapai dari wacana penerapan e-voting tersebut. 

 

“Namun pertanyannya, apakah relevan e-voting diterapkan di Indonesia? Apakah terdapat aspek selain efisiensi yang perlu dipertimbangkan dalam wacana penggunaan e-voting?,” ujar Titi kepada hukumonline, Rabu (11/3), di Jakarta.

 

Titi mengakui bahwasanya e-voting memang bukanlah perangkat teknologi informasi yang baru dalam dunia kepemiluan. Salah satu tujuan penerapannya di beberapa negara memang untuk menciptakan efisiensi. Ia mencontohkan misalnya di Brazil, proses pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara yang melibatkan banyak pekerja dan memicu potensi manipulasi suara, menjadi latar belakang dibalik penggunaan electronic voting machine (EVM). 

 

Begitu pula dengan India, EVM yang dibangun oleh para teknisi dalam negeri mengurangi biaya pemilu dengan terpangkasnya anggaran untuk mencetak surat suara bagi 900 juta lebih pemilih India. Namun demikian, Titi menyebutkan bahwa terdapat pula negara-negara yang cenderung meninggalkan penggunaan e-voting. 

 

Jerman misalnya, Mahkamah Konstitusi Jerman pada 2009 memutuskan agar e-voting tidak lagi digunakan karena bertentangan dengan prinsip pemilu terutama transparansi proses penghitungan suara. Kemudian di Belanda, pada 2006, muncul gelombang protes dan kampanye “we don’t trust the machince” untuk mempertanyakan penggunaan e-voting. 

 

“Begitu juga di Prancis, beberapa bulan menjelang penyelenggaran Pemilu 2017, Pemerintah memutuskan untuk tidak menggunakan e-voting bagi pemilih di luar negeri akibat adanya ancaman peretasan,” ungkap Titi.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait