Indonesia Lawyers Club Dikritik, Ini Komentar Sahetapy
Utama

Indonesia Lawyers Club Dikritik, Ini Komentar Sahetapy

Tak pernah berbicara substansi perkara.

ALI
Bacaan 2 Menit
Prof. JE Sahetapy. Foto: RES
Prof. JE Sahetapy. Foto: RES
Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) Bagir Manan mengkritik acara Indonesia Lawyers Club (ILC) yang dinilai dapat mempengaruhi independensi hakim. Lalu, bagaimana komentar salah satu “bintang” acara diskusi di TVOne itu, Prof JE Sahetapy?

Sahetapy setuju dengan Bagir bahwa perkara yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak boleh dikomentari oleh siapa saja, termasuk dosen dan pengacara.

“Aturan” ini bukan hanya berlaku di acara diskusi di televisi, tetapi juga opini di media massa. Ia mencontohkan misalnya, di Kompas (salah satu koran nasional) beberapa waktu lalu ada dosen yang menulis tentang kasus Bank Century. “Saya kalau ketemu dia, saya akan bilang saya sesalkan Anda begitu,” ujarnya.

“Karena saya pernah mengajar Legal Ethics (etika hukum). Ndak boleh itu,” tambahnya usai diskusi KHN, Ikatan Alumni FHUI dan Hukumonline bersama komunitas hukum di Jakarta, Selasa (3/6).

Sahetapy mengatakan jangankan perkara yang sedang diperiksa oleh penegak hukum, perkara yang sudah diputus pengadilan pun tidak boleh dikomentari. “Karena ada kemungkinan dia banding atau kasasi. Jadi, seseorang baru bisa memberikan komentar tentang kasus setelah putusan mempunyai kekuatan hukum tetap,” ujarnya.

Lalu, bila seperti itu, mengapa Sahetapy rajin tampil di acara ILC?

Sahetapy berdalih bahwa dirinya tidak pernah berbicara substansi kasus di acara tersebut. “Saya tak pernah masuk ke dalam kasus. Ndak mau saya. Walaupun diarahkan oleh Pak Karni, Saya tidak terjebak ke situ. Kita tak bisa kasih komentar tentang kasus,” tegasnya.

Meski begitu, Sahetapy mengaku pernah ‘menyerempet’ membicarakan kasus ketika tampil di ILC. Yakni, ketika dia mengomentari kasus Anas. “Komentar saya bukan apakah Anas salah atau tidak. Saya hanya kasih komentar, kok bisa Anas bilang 'kalau saya curi 1 rupiah, gantung saya di Monas'. Itu yang saya komentari. Bukan kasusnya,” ujar Ketua Komisi Hukum Nasional (KHN) ini.

Kala itu, kenang Sahetapy, dia hanya mengomentari mana ada pidana mati dilaksanakan di Monas. Ia menuturkan pidana itu selalu bersifat intramoral yang berarti di dalam penjara atau di suatu tempat yang tidak diketahui. “Itu saja yang saya kasih komentar,” tambahnya.

Lebih lanjut, Sahetapy menambahkan dirinya tak mau berpolemik apakah acara-acara seperti ILC yang membicarakan kasus itu perlu dipertahankan atau tidak. “Itu tergantung dari Karni. Kalau dia merasa bisa mempertanggungjawabkan, kenapa saya harus mengambil tanggung jawab dia,” ujarnya.

“Saya pegang etik. Saya pernah ajar Legal Ethics. Anda perlu tulis bahwa Sahetapy tidak setuju kalau ada orang, terutama dosen fakultas hukum dan pengacara berbicara kasus,” ujarnya.

Sahetapy mengatakan dirinya bahkan pernah menegur muridnya yang berprofesi sebagai pengacara di acara itu. Ia menuturkan seharusnya pengacara tak bisa berbicara macam-macam di forum seperti itu. “Saya pernah tanya ke murid saya yang pengacara, Anda dibayar berapa, pasti bukan juta, tapi M (miliar,-red). Kok Anda bisa ngomong macam-macam seperti itu?” tegasnya.

“Saya merasa bertanggung jawab. Karena itu bisa contempt of court atau obstruction of justice,” ujarnya.

Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Ronald Rofiandri mengakui bila masyarakat sudah tak memiliki forum bergengsi terkait perdebatan konstitusi dan hukum. Selama ini, lanjutnya, orang yang mau tahu hukum, patokannya adalah talkshow di salah satu TV Swasta.

“Dahulu, kita punya acara diskusi Guru Besar Hukum yang diselenggarakan oleh BPHN,” ujarnya.
Tags:

Berita Terkait