IKAHI Minta Pelaksana SPH Hanya MA
Berita

IKAHI Minta Pelaksana SPH Hanya MA

Majelis menilai pengujian undang-undang ini lebih pada persoalan implementasi norma.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Pemohon yang diwakili kuasanya Lili Mulyadi saat menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang perdana pengujian UU Peradilan Umum, Kamis (16/4). Foto: Humas MK
Pemohon yang diwakili kuasanya Lili Mulyadi saat menyampaikan dalil-dalil permohonan dalam sidang perdana pengujian UU Peradilan Umum, Kamis (16/4). Foto: Humas MK
Sidang perdana pengujian tiga paket undang-undang peradilan tahun 2009 yang mempersoalkan keterlibatan Komisi Yudisial (KY) dalam Seleksi Pengangkatan Hakim (SPH) bersama Mahkamah Agung (MA) digelar di Mahkamah Konstitusi (MK). Pemohonnya, Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) yang merasa dirugikan hak konstitusionalnya. Sejak terbitnya paket undang-undang bidang peradilan, MA dan KY belum bisa merekrut calon hakim, sehingga menyulitkan mutasi-promosi hakim.

Secara khusus, IKAHI memohon pengujian Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Beleid itu, memberi wewenang KY untuk terlibat dalam SPH bersama MA di tiga lingkungan peradilan.

IKAHI menganggap kewenangan KY dalam proses SPH mendegradasi peran IKAHI untuk menjaga independensi yang dijamin Pasal 24 UUD 1945. Selain itu, Pasal 21 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan organisasi (SDM), administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan berada di bawah kekuasaan MA. Terlebih, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945i tidak mengamanatkan keterlibatan KY dalam SPH. 

“Kalau telah disusun Peraturan Bersama (Perba) MA dan KY, pertanyaannya mengapa MA dan KY belum bisa melaksanakan itu, apakah Perba dapat digunakan sebagai payung hukum,” ujar salah satu kuasa hukum IKAHI, Lilik Mulyadi dalam sidang pendahuluan yang diketuai Anwar Usman di ruang sidang MK, Kamis (16/4). Anwar didampingi anggota panel, Maria Farida Indrati dan Aswanto.

Lilik menegaskan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, hanya memberi kewenangan KY secara limitatif mengusulkan pengangkatan hakim agung, bukan pengangkatan hakim tingkat pertama. Bentuk perluasan makna yang berwujud keterlibatan KY dalam SPH ini jelas menimbulkan ketidakpastian hukum yang adil yang bertentangan dengan UUD 1945.

“Seharusnya makna Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak bisa ditafsirkan lain, tidak  bisa memperluas kewenangan KY dalam SPH,” lanjutnya.

Karena itu, IKAHI meminta tafsir agar peran KY dalam SPH dihapus dengan cara menghapus kata “bersama”  dan frasa “Komisi Yudisial” dalam pasal-pasal itu, sehingga proses SPH hanya dilakukan MA. “Nantinya, ketentuan lebih lanjut mengenai proses seleksi diatur dalam Peraturan MA,” harapnya.

Saran majelis
Menanggapi permohonan, Majelis Panel memberi sejumlah catatan kritis terhadap permohonan IKAHI. Majelis mempertanyakan petitum permohonan apakah meminta menghapus kata dan frasa atau minta tafsir. “Ini belum pasti apa maunya. Kalau permohonan ini dikabulkan berarti kan harus menunggu pembuat undang-undang lagi untuk mengatur lebih lanjut. Ini harus diperhatikan,” kata Anwar Usman.

Maria Farida menilai uraian dalil permohonan ini lebih bersifat implementatif, sementara MK sendiri tidak berwenang menguji persoalan implementasi norma, tetapi menguji norma yang bertentangan dengan UUD 1945. Ia menduga Perba yang dianggap menghambat pelaksanaan SPH sebagai bentuk implementasi norma, bukan norma undang-undangnya yang keliru. “Kalau ini dikatakan bertentangan UUD 1945 juga seharusnya dipertentangkan dengan pasal yang diuji,” kritik Maria.

Dia meminta pemohon lebih memperjelas alasan norma pasal yang diuji bertentangan dengan pasal-pasal UUD 1945. Sebab, dia melihat adanya Perba MA dan KY justru yang menjadi pokok masalah dalam SPH. Sementara pemohon langsung menguraikan aturan keterlibatan KY dalam SPH menimbulkan ketidakpastian hukum dalam penerapannya.

“Saudara tidak mempermasalahkan mengapa pasal itu bertentangan dengan konstitusi. Namun adanya Perba MA-KY penerapannya bermasalah, tidak bisa dilaksanakan dan seharusnya tidak masalah. Harus diperjelas lagi pertentangannya,” saran dia.

“Kalau Bapak-Bapak tidak senang dengan KY seharusnya dalam petitumnya agar ketentuan lebih pada proses seleksi langsung saja diatur oleh MA. Jadi, tidak usah menunggu lagi diatur dalam undang-undang.”

Aswanto mempertanyakan kerugian konstitusional IKAHI atas berlakunya pasal-pasal itu. Dia melihat kerugian konstitusional pemohon belum nampak dalam uraian permohonan. “Saya sarankan agar dijelaskan lebih detil dan konkrit kerugian konstitusional IKAHI dengan berlakunya pasal-pasal itu, harus diurai pula jika ini dikabulkan kerugian atau potensi kerugian akan hilang,” saran Aswanto.

Aswanto juga meminta pemohon menguraikan lebih jelas bagaimana hubungan tidak terlaksananya rekrutmen hakim bertahun-tahun dengan terganggunya independensi hakim. “Ini harus diurai dan dielaborasi lebih jelas lagi dalam permohonan Saudara,” pintanya.
Tags: