Dia juga menyayangkan gagasan energi alternatif seperti Bahan Bakar Gas (BBG) yang diungkapkan pemerrintah dari tahun ke tahun tidak ada perkembangan dalam sosialisasi penggunaannya. Menurutnya, untuk mensosialisasikan penggunaan BBG, tak hanya kendaraan dan SPBG yang perlu disiapkan, tapi infrastruktur lain seperti lahan parkir yang berbeda dari kebiasaan area parkir di Indonesia juga perlu dipersiapkan.
“Kami minta pemerintah lebih serius menggarap penggunaan BBG ini dengan menyiapkan infrastruktur secara holistik,” tuturnya.
Sementara itu, anggota Komite Energi nasional (KEN) Nina Sapti Triaswati menyayangkan keputusan pemerintah yang menunda menaikkan harga BBM subsidi pada 1 April lalu. Menurutnya, kebijakan tersebut justru merugikan masyarakat yang memiliki pendapatan kecil. Selain BBM subsidi hanya dinikmati orang kaya, masyarakat berpendapatan rendah batal mendapatkan BLTSM.
“Subsidi BBM jelas dinikmati orang kaya. Orang miskin menderita karena tidak jadi dapat BLT,” katanya.
Wakil Direktur Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, menambahkan selama ini masyarakat telah tertipu dengan informasi yang mengatakan Indonesia adalah negara kaya akan minyak. Menurutnya, pandangan itu tidak sesuai dengan fakta yang ada. Dia juga menyayangkan tidak adanya keinginan politik dari pemerintah untuk mengeksplorasi sumber energi yang ada.
“Hal ini bisa dilihat dari tidak adanya dana yang dialokasikan pemerintah dalam APBN untuk aktifitas tersebut dari tahun ke tahun,” katanya.