Minderheidsnota Tak Bisa Menghambat Persetujuan UU
Berita

Minderheidsnota Tak Bisa Menghambat Persetujuan UU

Pengesahan Undang-Undang Migas di Senayan diwarnai minderheidsnota dari 12 anggota DPR. Tetapi Mahkamah Konstitusi menganggap hal itu tidak mempunyai sifat menghambat atau membatalkan suatu persetujuan.

Mys
Bacaan 2 Menit
<i>Minderheidsnota</i> Tak Bisa Menghambat Persetujuan UU
Hukumonline

 

Dalam pandangan MK, adanya minderheidsnota dari 12 anggota Dewan merupakan bentuk dan praktek demokrasi dalam pengambilan keputusan di Senayan. Anggota Dewan bukan hanya diberi hak mengajukan minderheidsnota tetapi juga boleh menolak suatu RUU disahkan menjadi undang-undang.

 

Di mata MK, minderheidsnota bukan merupakan bentuk penolakan atau ketidaksetujuan secara penuh. Meskipun dihargai sebagai sikap dan praktek dalam pengambilan keputusan, kata MK, minderheidsnota ‘tidak mempunyai sifat menghambat atau membatalkan suatu persetujuan'.

 

Para pemohon tidak dapat meyakinkan Mahkamah dalam membuktikan kebenaran dalil permohonannya, sehingga dengan demikian permohonan pengujian formil Pemohon terhadap Undang-Undang a quo harus ditolak, papar MK dalam pertimbangan putusannya.

 

Tabel

Kasus Pembahasan UU yang Diwarnai Minderheidsnota

 

Undang-Undang

Pengusul/ Alasan

UU Kejaksaan No. 16 Tahun 2004

FKKI menyampaikan keberatan pada Rapat Paripurna pada 15 Juli 2004

UU Perkebunan No. 18 Tahun 2003

Sayuti Rahawarin (FPDU). Masih ada beberapa pasal yang harus disempurnakan, misalnya tentang HGU perkebunan dan HGB yang memungkinkan area perkebunan diubah menjadi perumahan (12 Juli 2004)

UU Sumber Daya Air No. 7 Tahun 2004

Fraksi Reformasi, plus dua nggota FKKI. Total ada tujuh anggota DPR yang mengajukan keberatan, tetapi tetap tidak dilakukan voting untuk mengesahkan (19 Februari 2004)

UU Ketenagalistrikan No. 20 Tahun 2002

Hartono Mardjono. UU ini dianggap merugikan masyarakat sebagai konsumen.

UU Migas No. 22 Tahun 2001

Hartono Mardjono dan belasan anggota DPR lain. Masih ada belasan pasal krusial dalam UU Migas. Intinya, UU itu tidak berpihak kepada rakyat; bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945.

   Pusat Data Hukumonline, 2004.

 

Sebenarnya, minderheidsnota bukan hanya muncul pada saat pembahasan Undang-Undang Migas, tetapi terjadi pada banyak undang-undang lain (lihat tabel). Tetapi seperti dikatakan MK, minderheidsnota hanya sekedar nota keberatan yang dibacakan. Dan tak bisa menghalangi persetujuan atau pengambilan keputusan atas suatu RUU.

Dalam putusan judicial review Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas) Selasa kemarin (21/12), Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji formil yang diajukan oleh para pemohon. Para pemohon dimaksud adalah APHI, PBHI, Yayasan 324, Solidaritas Nusa Bangsa (SNB), Serikat Karyawan Pertamina dan DR Ir Pandji R Hadinoto.

 

Para pemohon berpendapat bahwa Undang-Undang Migas menyalahi prosedur pembuatan suatu undang-undang sebagaimana diatur pada pasal 20 ayat (1) UUD 1945. Tindakan pimpinan Rapat Paripurna DPR yang tetap mengesahkan RUU Migas menjadi Undang-Undang, tanpa mendengarkan adanya keberatan, bertentangan dengan Tatib Dewan sendiri. Untuk menguatkan argumennya, para pemohon menunjukkan adanya anggota Dewan yang mengajukan minderhedsnota, bahkan sampai ada yang walk out dari sidang.

 

Berdasarkan bukti Risalah Rapat Paripurna tanggal 23 Oktober 2001 terungkap adanya 12 anggota Dewan yang mengajukan minderheidsnota, dimotori oleh alm. Hartono Mardjono. Namun, selain menemukan risalah tadi, MK juga membuka risalah yang menyebut bahwa pada akhir Rapat Paripurna tidak ada lagi anggota Dewan yang mengajukan keberatan. Terungkap pula bahwa pada saat itu, ada 348 dari 483 anggota DPR yang hadir, sehingga sudah memenuhi kuorum.

 

Toh, argumen-argumen pemohon tidak berhasil meyakinkan kesembilan hakim konstitusi. MK tetap menolak permohonan uji formil Undang-Undang Migas. Itu antara lain yang membuat pemohon mengecam putusan MK. Keputusan itu nyata-nyata tidak berpihak kepada kepentingan rakyat banyak dan hanya berpihak kepada kepentingan para pemilik modal, ujar Abdullah Sodik dan Sjachrul Anwar, Ketua dan Sekretaris Serikat Pekerja Pertamina, dalam rilis yang diterima hukumonline.

Halaman Selanjutnya:
Tags: