Implementasi UU Kewarganegaraan Masih Setengah Hati
Utama

Implementasi UU Kewarganegaraan Masih Setengah Hati

Riset yang dilakukan Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia membuktikan diskriminasi terhadap kelompok tertentu masih diterapkan aparat Imigrasi serta Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil.

CR1
Bacaan 2 Menit
Implementasi UU Kewarganegaraan Masih Setengah Hati
Hukumonline

 

Di Kantor Imigrasi, gambaran yang hampir sama diperoleh tim periset. Dari 194 responden, masih ada 8 petugas imigrasi yang tak mengetahui lahirnya UU Kewarganegaraan. Dan, masih ada 21 orang yang tidak tahu Keppres dan Inpres yang menghapuskan SBKRI.

 

Mayoritas responden sebenarnya mengetahui bahwa UU Kewarganegaraan menganut prinsip penghapusan diskriminasi. Tetapi sebagian petugas imigrasi dan Kantor Dukcapil masih menerapkan SBKRI dalam pelayanan karena perintah atasan dan aturannya demikian. Sekalipun kedudukan UU Kewarganegaraan jauh lebih tinggi, tim riset menemukan fakta bahwa petugas lebih menghormati aturan teknis. Peraturan yang mensyaratkan SBKRI dalam pengurusan dokumen antara lain Surat Edaran Dirjen Imigrasi tertanggal 15 April 2004. 

 

Celakanya, aturan teknis tertulis terang-terangan menabrak prinsip non-diskriminasi yang dianut UU Kewarganegaraan. Misalnya Kebijakan Kepala Sudin Dukcapil Jakarta Utara, November 2006. Pada bagian persyaratan pembuatan akta kelahiran masih tercantum Surat Kewarganegaraan dan ganti nama orang tua bagi WNI Keturunan.

 

Iming Tesalonika, anggota Dewan Pengurus YPHI, menegaskan orang yang lahir di Indonesia seharusnya sudah otomatis menjadi WNI sesuai prinsip kewarganegaraan yang dianut. SBKRI menjadi tidak relevan kalau ingin konsisten menerapkan prinsip non-diskriminasi dalam pelayanan kependudukan dan catatan sipil. Ia mencurigai petugas yang masih menerapkan SBKRI lebih bermotif ekonomi. Kalau SBKRI masih diminta berarti ada motif ekonomi, ujarnya.

 

Mantan Ketua Pansus RUU Kewarganegaraan, Slamet Effendi Yusuf, menyayangkan masih terjadinya diskriminasi. UU Kewarganegaraan adalah milik semua kelompok, bukan ditujukan kepada etnis tertentu. Undang-Undang ini memperlakukan sama warga pribumi dengan etnis keturunan dalam pelayanan kependudukan dan catatan sipill.

 

Sri Sumaryati, petugas imigrasi yang hadir pada launching hasil riset YPHI, menegaskan, perlu kehati-hatian dalam memberikan pelayanan dan pemeriksaan dokumen imigrasi. Ia meminta warga negara datang dan mengurus sendiri dokumennya agar petugas bisa langsung melakukan verifikasi, tentu saja dengan membawa persyaratan. Tanpa biro perantara, ujarnya.

 

YPHI berkesimpulan bahwa sosialisasi UU No. 12 Tahun 2006 masih minim, terutama kepada petugas imigrasi dan kantor Dukcapil. Selain peraturan dan kebijakan yang tidak sinkron, koordinasi antarinstansi pemerintah yang mengurusi kependudukan dan catatan sipil pun terbilang minim. Keruwetan itu makin diperparah tidak adanya sistem informasi administrasi kependudukan yang terintegrasi.

 

Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan menjadi salah satu tumpuan dan harapan bagi bangsa Indonesia untuk menghapus praktik diskriminasi. Semua warga negara diperlakukan sama di hadapan hukum. Implikasi dari wet ini antara lain adalah penghapusan kebijakan diskriminatif di bidang pelayanan kewarganegaraan seperti Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI).

 

Sebenarnya, SBKRI bukan hanya harus hilang setelah pengesahan UU No. 12 Tahun 2006, tetapi jauh sebelumnya. Pada masa Presiden Soeharto terbit Keppres No. 56/1996, dan setelah era reformasi terbit Instruksi Presiden No. 5 Tahun 1999. Intinya, kedua beleid terakhir menghapus ketentuan persyaratan dokumen SBKRI.

 

Untuk memantau bagaimana implementasi kebijakan non-diskriminatif dana pelayananan kewarganegaraan tersebut, khususnya penghapusan SBKRI, Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia (YPHI) melakukan riset empat kota yang dianggap representatif, yaitu Jakarta, Tangerang, Palembang, dan Pontianak. Riset dilakukan untuk menjawab pertanyaan: apakah UU Kewargenagaraan dan produk hukum nasional dan internasional mampu menghapus diskriminasi, khususnya SBKRI, dalam pelayanan dokumen kewarganegaraan dan kependudukan.

 

YPHI mengumumkan hasil sementara riset tersebut Kamis (11/12) lalu. Hasilnya? Diskriminasi masih terjadi, kata Frans Hendra Winarta Ketua Dewan Pengurus YPHI.

 

Tentu saja, Frans tidak asal bicara. Melalui wawancara dan kuestioner berisi belasan hingga puluhan pertanyaan, terungkap data yang terbilang cukup menyedihkan. Dari 163 responden petugas Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil), masih ada 7 orang yang tidak tahu adanya UU No. 12 Tahun 2006. Malahan, ada 57 orang responden yang tidak tahu Keppres dan Inpres yang menghapuskan SBKRI. Jumlah ini lebih besar dibanding petugas yang menyatakan tahu (46 orang) atau tidak ingat (37 orang).

Tags: