INFID: Pandemi Covid-19 Momentum Reformasi Kesehatan
Terbaru

INFID: Pandemi Covid-19 Momentum Reformasi Kesehatan

Seperti terwujudnya cakupan jaminan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC), out of pocket atau peserta JKN masih mengeluarkan biaya tambahan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Pandemi Covid-19 menjadi persoalan yang dihadapi secara global. Hampir semua sektor kesehatan di berbagai negara kewalahan menghadapi lonjakan kasus Covid-19, apalagi ketika varian delta merebak. Peneliti INFID, Ari Wibowo, mencatat ketika kasus Covid-19 melonjak RS kekurangan ruang rawat inap dan alat kesehatan. SDM sektor kesehatan juga sangat terbatas terutama di daerah. Akibatnya fasilitas kesehatan tingkat pertama (FKTP) dan fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut (FKRTL) tidak mampu merespon kebutuhan masyarakat.

Berbagai pesoalan yang muncul di sektor kesehatan selama pandemi Covid-19 bagi Ari hal itu sebuah momentum untuk mereformasi sektor kesehatan di Indonesia. “Pandemi Covid-19 adalah momentum reformasi kesehatan,” kata dia dalam diskusi bertema diseminasi publik “Studi JKN oleh BPJS Kesehatan: Tata Kelola, Efektivitas, dan Perbandingan dengan Kawasan ASEAN”, Jum’at (05/11/2022) lalu.

Sistem pelayanan kesehatan yang ada menurut Ari belum mampu merespon kebiasaan masyarakat yang ingin dirawat di rumah ketika sakit. Kebiasaan itu terbukti antara lain 80 persen korban meninggal Covid-19 terjadi di rumah.

Ari menilai selama ini penanganan Covid-19 di Indonesia tergolong lemah. Oleh karena itu diperlukan perbaikan sistem kesehatan secara meluas, termasuk dukungan anggaran kesehatan. Pemerintah dituntut serius membangun sektor kesehatan karena merupakan bagian dari HAM. Hal tersebut antara lain diatur dalam DUHAM PBB Tahun 1948 yang memandatkan hak setiap orang untuk taraf hidup yang memadai, kesehatan, dan kesejahteraan. Serta Pasal 28H ayat (1) dan (3) UUD NKRI Tahun 1945.

Ari juga menyoroti pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diselenggarakan melalui BPJS kesehatan sejak 1 Januari 2014. Salah satu upaya memenuhi hak atas kesehatan melalui JKN adalah mendorong terwujudnya cakupan jaminan kesehatan semesta atau Universal Health Coverage (UHC). RPJMN 2015-2019 menargetkan UHC sebesar 95 persen penduduk Indonesia menjadi peserta JKN, tapi realisasinya mendekati 84 persen. RPJMN periode 2020-2024 menargetkan UHC sebesar 98 persen, tapi sampai 2021 capaian baru 86 persen.

Ari mengingatkan UHC bukan hanya target untuk BPJS Kesehatan saja, tapi semua pihak. Misalnya pemerintah daerah untuk mendorong kepesertaan JKN, antara lain melalui program penerima bantuan iuran (PBI) yang dibayar melalui anggaran pemerintah daerah. Begitu juga kesiapan fasilitas kesehatan untuk memberikan layanan terhadap peserta di berbagai daerah.

Persoalan lain yang kerap dihadapi peserta dalam layanan JKN antara lain out of pocket atau peserta masih mengeluarkan biaya tambahan untuk mendapatkan layanan kesehatan walau sudah membayar iuran JKN. Misalnya peserta JKN mengeluarkan biaya tambahan utuk kelas ketika ruang rawat inap penuh. Sesuai ketentuan yang berlaku harusnya RS tidak menarik ongkos lagi bagi pasien ketika ruang rawat inap sesuai kelasnya penuh.

Begitu juga soal obat, dimana peserta JKN diminta membeli obat dengan biaya sendiri dengan alasan obat tidak tersedia di RS atau fasilitas kesehatan yang bersangkutan. Padahal ketersediaan obat adalah tanggung jawab fasilitas kesehatan. “Hasil survei kami menunjukan dari 74 responden sebanyak 53 persen mengalami out of pocket dalam layanan JKN,” ujarnya.

Dibandingkan dengan negara di wilayah Asia Tenggara lainnya seperti Thailand, Vietnam, Malaysia, dan Filipina, tingkat capaian UHC di Indonesia masih rendah. Begitu juga pengeluaran pemerintah di sektor kesehatan. Ari melihat ada peluang bagi pemerintah untuk mendorong tercapainya UHC dan peningkatan pengeluaran untuk sektor kesehatan antara lain memanfaatkan pajak dosa (sin tax) seperti cukai rokok.

Tags:

Berita Terkait