Ingat, Rencana Revisi UU KPK Hanya Ditunda Bukan Dibatalkan
Berita

Ingat, Rencana Revisi UU KPK Hanya Ditunda Bukan Dibatalkan

Baleg kembali berencana mengundang forum rektor untuk meminta pandangan terkait empat poin dalam RUU KPK yang banyak dipersoalkan.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Gedung KPK. Foto: RES
Gedung KPK. Foto: RES
DPR dan pemerintah telah sepakat menunda revisi UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Beragam pandangan muncul dari kalangan anggota dewan di parlemen. Sebelumnya, desakan penolakan revisi UU KPK terus berdatangan dari lapisan masyarakat, baik LSM maupun praktisi hukum.  

“Kalau Gerindra tidak masalah dihentikan juga bagus, dikeluarkan dari Prolegnas juga bagus,” ujar Wakil Ketua DPR Fadli Zon di Gedung DPR, Selasa (22/2).

Menurutnya, belum ada urgensi untuk dilakukan pembahasan terhadap RUU KPK. Namun, politisi partai besutan Prabowo Subianto itu belum mengetahui dinamika politik ke depan. Pasalnya, boleh jadi ketika ada kebutuhan publik merevisi UU KPK maka dapat dilakukan, sepanjang adanya kesepakatan antara pemerintah dan DPR.

“Belum ada agenda ke depan untuk membahas RUU KPK. Jadi ibaratnya tutup buku dulu soal RUU KPK,” ujarnya.

Wakil Ketua Baleg Firman Subagyo menilai langkah Presiden Jokowi mengambil keputusan menunda pembahasan RUU KPK sudah tepat. Menurutnya, langkah presiden telah menjawab kesimpangsiuran di masyarakat. Maklum, antara pandangan Menkompolhukam dan jubir kepresidenan kerap kali berseberangan.

Penundaan pembahasan RUU KPK memang tidak dibatasi waktu. Namun, Baleg berencana bakal mengundang forum rektor untuk meminta pandangan terkait dengan 4 poin dalam RUU KPK yang banyak dipersoalkan. Empat poin itu adalah penyadapan, kewenangan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3), Dewan Pengawas, dan kewenangan KPK mengangkat penyidik independen.

Anggota Komisi III Sarifudin Suding berpandangan, bila pemerintah tegas melakukan penolakan, maka seharusnya Presiden Jokowi mencabut RUU KPK dari daftar Prolegnas. Pasalnya, setiap RUU yang masuk dalam daftar Prolegnas mendapat persetujuan dari DPR dan pemerintah.

“Artinya ketika Jokowi secara tegas menolak ini, artinya pemerintah punya kewenangan menolak seperti kejadian sebelumnya,” katanya.

Akan tetapi, politisi Partai Hanura itu berpandangan penundaan yang dilakukan Jokowi dalam rangka merespon keinginan publik. Sebaliknya, Jokowi justru tak tegas melakukan penolakan karena hanya melakukan penundaan. Dengan begitu, kata Sudding, Jokowi seakan-akan menyetujui RUU KPK, hanya saja perlu disosialisasikan terlebih dahulu.

“Bahwa kemudian bisa menjadi bom waktu, saya kira suatu proses pembahasan ini memang iya, sepanjang RUU ini tidak dikeluarkan dari Prolegnas,” katanya.

Anggota Komisi III lainnya, Arsul Sani menghormati  permintaan dari Fraksi Gerindra dan PKS yang menyuarakan agar RUU KPK dikeluarkan dari daftar Prolegnas. Menurutnya, mencabut RUU KPK dari Prolegnas idealnya tak saja jangka pendek, namun juga jangka panjang. “Caranya dicabut dari Prolegnas jangka panjang dan prioritas tahunan,” ujarnya.

Poin bagi Jokowi
Langkah Presiden Jokowi menunda pembahasan RUU KPK menjadi momentum sebagai pencitraan positif. Sebaliknya, menjadi tidak elegan ketika pimpinan DPR melakukan rapat konsultasi dengan presiden di istana. Sementara, RUU KPK belum pula diboyong ke dalam rapat paripurna untuk diambil keputusan tingkat pertama.

“Artinya kalau kita mengacu pada mekanisme UU No.12 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundangan, seharusnya melewati proses DPR dulu, karena belum masuk ranah eksekutif,” katanya.

Menurutnya, di ranah legislatif, RUU KPK belum diproses untuk dinyatakan diterima atau di tolak. Atas dasar itulah, Sudding menilai terjadi keteledoran pimpinan DPR dan berdampak positif bagi presiden.

“Menurut saya, Presiden Jokowi mengambil poin di publik dalam peristiwa ini. Saya dari awal sudah memprediksi ketika ada penolakan publik, saya kira Jokowi akan balik badan dan saya yakin itu,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait