Ini Alasan Pengelolaan Kelapa Sawit Rawan Korupsi
Berita

Ini Alasan Pengelolaan Kelapa Sawit Rawan Korupsi

Desain tata kelola usaha perkebunan dan industri kelapa sawit yang belum terintegrasi dari hulu ke hilir.

Oleh:
FAT
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Dari hasil kajian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2016 tercatat bahwa pengelolaan kelapa sawit di Indonesia masih rawan korupsi. Salah satu persoalannya terdapat pada pengelolaan yang masih banyak menimbulkan masalah. KPK menyayangkan persoalan ini.

Dalam siaran pers KPK yang diterima hukumonline, Senin (24/4), terlihat, hingga kini belum ada desain tata kelola usaha perkebunan dan industri kelapa sawit yang terintegrasi dari hulu ke hilir. Kondisi ini tidak memenuhi prinsip keberlanjutan pembangunan di industri kelapa sawit.

“Sehingga rawan terhadap persoalan tata kelola yang berpotensi adanya praktik tindak pidana korupsi,” tulis KPK. (Baca Juga: HKTI Nilai PP Gambut Rugikan Kebun Sawit Rakyat)

Padahal, komoditas kelapa sawit merupakan salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Lemahnya mekanisme perizinan, pengawasan dan pengendalian membuat sektor ini rawan korupsi. Catatan KPK, tindak pidana korupsi yang terkait sektor ini dan pernah ditangani adalah yang melibatkan Bupati Buol Amran Batalipu dan Gubernur Riau Rusli Zainal.

Dari sisi hulu misalnya, sistem pengendalian dalam perizinan perkebunan kelapa sawit belum akuntabel untuk memastikan kepatuhan pelaku usaha. Hal ini ditandai dengan tidak adanya mekanisme perencanaan perizinan berbasis tata ruang. Bahkan, integrasi perizinan dalam skema satu peta juga belum tersedia.

“Selain itu, kementerian dan lembaga terkait belum berkoordinasi dalam penerbitan perizinan. Akibatnya, masih terjadi tumpang tindih izin seluas 4,69 juta hektare,” tulis KPK.(Baca Juga: Larangan Hutan Alam Jadi Kebun Sawit, Pemerintah Siapkan Inpres)

Di hilir, pengendalian pungutan ekspor kelapa sawit belum efektif karena sistem verifikasi belum berjalan baik. Penggunaan dana kelapa sawit, habis untuk subsidi biofuel. Hal ini semakin diperparah lantaran subsidi tersebutsalah sasaran dengan tiga grup usaha perkebunan mendapatkan 81,7 persen dari Rp3,25 triliun alokasi dananya.

Padahal, lanjut KPK, penggunaan dana tersebut dapat ditujukan untuk penanaman kembali, peningkatan sumber daya manusia, peningkatan sarana dan prasarana, promosi dan advokasi, dan riset. Di sisi lain, pungutan pajak sektor kelapa sawit tak optimal dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak.

“Tak efektifnya pengendalian pungutan ekspor ini mengakibatkan ada kurang bayar pungutan sebesar Rp2,1 miliar dan lebih bayar Rp10,5 miliar. Tingkat kepatuhan pajak baik perorangan maupun badan juga mengalami penurunan. Sejak tahun 2011-2015, wajib pajak badan dan perorangan kepatuhannya menurun masing-masing sebanyak 24,3 persen dan 36 persen,” tulis KPK.

Atas dasar itu, KPK merekomendasikan Kementerian Pertanian dan kementerian/lembaga terkait harus menyusun rencana aksi perbaikan sistem pengelolaan komoditas kelapa sawit. KPKsendiriakan melakukan pemantauan dan evaluasi atas implementasi rencana aksi tersebut.

Sebelumnya, KPK bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sepakat untuk memperbaiki tata kelola kehutanan. Kedua lembaga sepakat bahwa persoalan ini adalah masalah serius agar tindak pidana korupsi di sektor kehutanan dan lingkungan hidup tak terjadi lagi.

KPK sendiri telah melakukan koordinasi dan supervisi dengan KLHK sejak 2010 dan memberikan 11 rekomendasi antara lain perbaikan perizinan, pengukuhan kawasan hutan, perizinan satu atap, peningkatan PNBP. Salah satu cara agar pencegahan dapat berjalan baik adanya tata kelola yang baik. (Baca Juga: “Otak-Atik” Tata Kelola Kehutanan Pencegah Korupsi)

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyatakan bahwa modus kejahatan bidang kehutanan telah bermetamorfosis mulai dari soal hutan lindung hingga dapat disahkan sebagai izin tata ruang. Hal ini semakin membuat “mata” KLHK terbuka bahwa pentingnya pencegahan korupsi merupakan sebuah keharusan.
Tags:

Berita Terkait