‘Otak-Atik’ Tata Kelola Kehutanan Pencegah Korupsi
Berita

‘Otak-Atik’ Tata Kelola Kehutanan Pencegah Korupsi

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan berkomitmen untuk memperbaiki tata kelola dengan membentuk tim khusus.

Oleh:
ANT/Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Siti Nurbaya mendatangi KPK untuk melakukan koordinasi terkait tata kelola pemerintahan yang baik dan pencegahan korupsi di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Siti Nurbaya mendatangi KPK untuk melakukan koordinasi terkait tata kelola pemerintahan yang baik dan pencegahan korupsi di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus bertekad untuk memperbaiki tata kelola kehutanan bersama dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Kedua lembaga sepakat bahwa persoalan ini adalah masalah serius agar tindak pidana korupsi di sektor kehutanan dan lingkungan hidup tak terjadi lagi.

"Fokus pertemuan hari ini adalah bagaimana memperbaiki tata kelolanya supaya tidak terjadi korupsi pada sektor kehutanan dan Bu Menteri berkomitmen untuk itu. Berdasarkan info yang diberikan Bu Menteri ada bidang-bidang yang harus diperbaiki dan KPK akan membentuk tim khusus untuk memperbaiki tata kelola di KLHK," kata Wakil Ketua KPK Laode M Syarif di gedung KPK Jakarta, Rabu (14/9).

Laode bertemu dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar terkait sejumlah rekomendasi yang pernah diberikan KPK di bidang kehutanan. Modus yang kerap terjadi di sektor ini, lanjutnya, lebih kepada pemberian izin sehingga muncul tindak pidana korupsi. (Baca Juga: Ternyata, Ini Masalah Pelik di Balik Sengkarut Korupsi Sektor Kehutanan)

"Di mata KPK, berdasarkan kajian terdahulu memang kita tidak bisa memungkiri salah satu modus kejahatan berhubungan dengan tindak pidana kehutanan dan perizinan itu ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi, namun KPK tidak bisa gegabah sebab harus bertindak dengan bukti cukup dan pendalaman lain," tambah Laode.

Menurut Laode, KPK sudah melakukan koordinasi dan supervisi dengan KLHK sejak 2010 dan memberikan 11 rekomendasi antara lain perbaikan perizinan, pengukuhan kawasan hutan, perizinan satu atap, peningkatan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Salah satu cara agar pencegahan dapat berjalan baik adanya tata kelola yang baik.

"Hari ini yang dibicarakan pimpinan KPK lengkap dengan Bu Menteri adalah kerja sama akan ditingkatkan baik pencegahan dan penindakan. Ini pertemuan murni soal pencegahan dan perbaikan tata kelola kehutananan. Buat saya, yang paling penting adalah bagaimana keterbukaan governance (tata kelola), hubungan antarpemerintah dan perizinannya," tambah Laode.

Di KLHK, menurut Laode ada tim terpadu yang seharusnya memperbaiki tata kelola. Keterbukaan tersebut menjadi pintu masuk perbaikan di sektor kehutanan maupun lingkungan hidup. "Yang paling penting adalah kesadaran aparat untuk terbuka dalam perbaikan perizinan sebab ada izin diberikan bupati namun kembali minta izin ke kehutanan," jelasnya.

Kerugian negara akibat persoalan ini, lanjutLaode, tidaklah sedikit. Bahkan mencapai angka triliunan rupiah. Atas dasar itu, kerja sama antar kedua lembaga menjadi penting, sehingga pengalaman kepala daerah yang tersangkut kasus korupsi tak terulang lagi di kemudian hari. (Baca Juga: Penegakan Hukum Sektor Kehutanan Masih Bermasalah)

"Tiga gubernur Riau yang ditangkap KPK juga (kena kasus korupsi) berhubungan dengan tata kelola perizinan kehutanan. Itu perlu dijadikan pengalaman yang tidak baik agar hal sama tidak terjadi juga di daerah lain dan itu yang akan di-follow up sama bu menteri," ungkap Loade.

Di tempat yang sama, Siti Nurbaya menyatakan bahwa modus kejahatan bidang kehutanan telah bermetamorfosis mulai soal hutan lindung hingga dapat disahkan sebagai izin tata ruang. Hal ini semakin membuat ‘mata’ KLHK terbuka bahwa pentingnya pencegahan korupsi merupakan sebuah keharusan.

"KPK sudah sejak lama melakukan kajian dan kita sudah bekerja sama dalam gerakan penyelamatan sumber daya alam. Saya minta untuk terus bisa konsultasi terutama beberapa hal secara internal harus kita selesaikan seperti batas hutan, pengukuhan, clean and clear perizinan hutan. Jadi ini pertemuan sifatnya konsultatif dan kami sudah mendapatkan ruang konsultasi ini secara berlanjut," kata Siti Nurbaya.

Berdasarkan Kajian Sistem Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Sektor Kehutanan 2015 yang dilakukan KPK, produksi kayu komersial dari hutan alam di Indonesia selama periode 2003-2014 secara keseluruhan mencapai 143,7 juta meter kubik (m3).Dari produksi tersebut, sebanyak 60,6 juta m3 dipungut oleh pemegang izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) melalui sistem tebang pilih.Sedangkan 83,0 juta m3 merupakan hasil pembukaan lahan untuk pengembangan Hutan Tanaman Industri (HTI), perkebunan kelapa sawit dan karet, serta pertambangan. (Baca Juga: KPK Kaji Kerentanan Korupsi Sektor Kehutanan)

Produksi yang tercatat ternyata jauh lebih rendah daripada volume kayu yang dipanen dari hutan alam di Indonesia. Hasil dari model kuantitatif kajian menunjukkan bahwa total produksi kayu yang sebenarnya selama tahun 2003-2014 mencapai 630,1 sampai 772,8 juta m3. Angka-angka tersebut mengindikasikan bahwa statistik dari KLHK hanya mencatat 19-23 persen dari total produksi kayu selama periode kajian, sedangkan 77,81 persen tidak tercatat.

Selama tahun 2003 sampai 2014, Pemerintah memungut PNBP dengan agregat sebesar AS$3,23 miliar (Rp31 triliun) dari Dana Reboisasi (DR) dan komponen hutan alam dari Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH). Namun, menurut model perhitungan dalam kajian, pemerintah seharusnya memungut penerimaan agregat sebesar AS$9,73-AS$12,25 miliar (Rp93,9-Rp118,0 triliun) dari DR and PSDH selama tahun 2003-2014.

Angka-angka tersebut menunjukkan bahwa total kerugian negara akibat pemungutan penerimaan DR and PSDH yang kurang maksimal mencapai AS$6,47-AS$8,98 miliar (Rp62,8-Rp86,9 triliun) atau rata-rata sebesar AS$539-AS$749 juta (Rp5,24-Rp7,24 triliun) per tahun selama 12 tahun periode kajian.

Kerugian itu antara lain disebabkan karena ketika produksi kayu berizin dilaporkan dan DR dan PSDH dibayar menurut laporan hasil produksi, maka kayu menjadi aset privat. Menurut hukum Indonesia, kayu yang tidak tercatat menjadi aset negara yang dicuri, dan uang yang dihasilkan melalui penjualan kayu ini dapat dianggap baik kerugian negara maupun hasil kejahatan (proceeds of a crime).
Tags:

Berita Terkait