Ini Alasan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Mesti Direvisi
Berita

Ini Alasan UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Mesti Direvisi

Agar dapat mengakomodir angkutan umum berbasis aplikasi dan menjadi payung hukum.

Oleh:
RFQ/ANT
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi lalu lintas. Foto: SGP
Ilustrasi lalu lintas. Foto: SGP

Terlepas dari manfaat yang dirasakan konsumen, keberadaan jasa transportasi berbasis aplikasi tetap menuai kontroversi, khususnya terkait dasar hukum. Terkait hal ini, Anggota DPR Yudi Widiana berpendapat UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) perlu direvisi.

Yudi yang menjabat Wakil Ketua Komisi V DPR mengatakan revisi UU LLAJ dibutuhkan untuk mengakomodasi keberadaan jasa transportasi berbasis aplikasi seperti Go-Jek, Grab Bike, Uber Taxi, dan lain-lain. Revisi UU LLAJ diharapkan dapat menjadi payung hukum bagi jasa transportasi berbasis aplikasi.

“Ada kekosongan aturan soal Go-Jek, GrabBike dan kendaraan umum yang berbasis aplikasi. Karena itu, perlu dilakukan revisi UU LLAJ dan Komisi V DPR RI menyambut baik rencana pemerintah untuk mengajukan revisinya,” ujarnya di Jakarta, Senin (21/12).

Menurut Politisi Partai Keadilan Sejahteraitu, revisi UU LLAJ semestinya tidak hanya mengatur tentang jasa transportasi berbasis aplikasi, tetapi juga standar pelayanan minimal dalam rangka melindungi konsumen dan keselamatan dalam berlalu lintas.

Anggota Komisi V DPR, Nizar Zahro mengatakan di satu sisi, UU LLAJ memang tidak mengatur tentang Go-Jek dan jasa transportasi berbasis aplikasi lainnya. Namun, di sisi lain, pemerintah sebenarnya memiliki kewajiban untuk menyediakan fasilitas transportasi yang layak. Sejauh ini, kewajiban itu terlihat belum terpenuhi.

Wakil Ketua Bidang Riset dan Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, mengatakan kemunculan jasa transportasi berbasis aplikasi merupakan respon dari ketidakmampuan pemerintah menghadirkan fasilitas transportasi publik yang layak. Namun, Djoko melihat Go-Jek dan jasa transportasi berbasis aplikasi lainnya hanyalah solusi sesaat.

Dia yakin konsumen akan meninggalkan jasa transportasi berbasis aplikasi jika pemerintah, baik pusat maupun daerah, mampu menciptakan transportasi publik yang ramah, aman dan nyaman. “Andaikan walikota/bupati serius menata transportasi bermartabat, pasti warga tidak mau menggunakan ojek seperti di Shanghai,” ujarnyamembandingkan.

Berbeda pendapat, Pusat Studi Transportasi dan Logistik (Pustral) Universitas Gadjah Mada justru menyatakan Pemerintah tidak perlu mengubah UU LLAJ serta peraturan terkait lainnya. Menurut Pustral, Pemerintah seharusnya mengoptimalkan layanan moda transportasi publikterlebih dulu,sebelum melakukan penegakan regulasi.

"Regulasi mengenai Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sudah ada tetap perlu ditegakkan, namun pelayanan transportasi umum harus dioptimalkan terlebih dahulu," , kata Peneliti Pustral Universitas Gadjah Mada, Joewono Soemardjitodi Yogyakarta, Jumat (18/12).

Regulasi yang ada, kata Joewono,sudah ideal. Makanya, dia memandang Pemerintah tidak perlu memasukkan kendaraan roda dua menjadi angkutan atau transportasi publik, meski fakta saat ini banyak masyarakat yang membutuhkan.

"Walaupun faktanya banyak yang membutuhkan, tentu tidak perlu serta merta dilegalkan dengan dimasukkannya sebagai angkutan umum," kata dia.

Selain menyangkut aspek keselamatan, lagalisasi kendaraan roda dua atau ojek sebagai transportasi publik akan menjadikan kondisi kepadatan jalan semakin tidak terkendali.

"Kalau dilegalkan tentu kemacetan jalan semakin tidak terkendali, karena akan semakin banyak yang menggeluti ojek," kata dia.

Menurut Joewono, cita-cita utama UU No.22 Tahun 2009 antara lain adalah untuk menjamin keselamatan penumpang. Selain itu, dengan menentukan roda empat sebagai syarat transportasi publik, adalah untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi.

"Oleh sebab itu visi dari UU LLAJ tersebut tidak perlu dikaburkan," kata dia.
Tags:

Berita Terkait