Ini Empat Jenis Konflik Pertambangan Sepanjang Tahun 2020
Catahu Jatam 2020:

Ini Empat Jenis Konflik Pertambangan Sepanjang Tahun 2020

Pencemaran lingkungan, perampasan lahan, kriminalisasi, PHK. Tercatat ada 45 konflik pertambangan tahun 2020, tahun sebelumnya hanya 11 konflik. Luas lahan terkait konflik pertambangan tahun 2020 mencapai 714.692 hektar.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi usaha pertambangan. HGW
Ilustrasi usaha pertambangan. HGW

Konflik yang muncul di sektor pertambangan seolah tak pernah berakhir. Catatan akhir tahun (Catahu) 2020 yang dirilis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat terdapat 45 kasus konflik pertambangan. Koordinator Jatam, Merah Johansyah, jumlah itu meningkat hampir 5 kali lipat dibandingkan tahun lalu yakni 11 konflik.

Jika dihitung dari tahun 2014-2019 selama Presiden Joko Widodo berkuasa, terdapat 116 konflik pertambangan yang berhasil dicatat. Luas konflik pertambangan sepanjang tahun 2020 mencapai 714.692 hektar. “Luas wilayah konflik ini setara dengan 3 kali luas kota Hongkong, jika dijumlah sepanjang 2014-2020, maka luasan konflik mencapai 1,6 juta hektar atau setara 3 kali luas pulau Bali,” ujar Merah ketika dikonfirmasi, Selasa (26/1/2021).

Merah menerangkan ada beberapa jenis konflik pertambangan yang terjadi sepanjang tahun 2020 itu, antara lain pencemaran dan perusakan lingkungan 22 kasus; perampasan lahan 13 kasus; kriminalisasi warga penolak tambang 8 kasus; dan pemutusan hubungan kerja (PHK) 2 kasus. Dari jumlah tersebut 13 kasus melibatkan aparat militer atau polisi. (Baca Juga: Kritik Jatam atas Dua Surat Kementerian ESDM Terkait Sentralisasi Pengelolaan Minerba)

Pada tahun 2020, Jatam mencatat ada 8 kasus kriminalisasi yang menimbulkan korban sebanyak 69 orang dan 6 diantaranya remaja di bawah umur. Kriminalisasi itu menggunakan berbagai ketentuan yang ada dalam KUHP, UU Minerba, dan UU Mata Uang. Dari 8 kasus kriminalisasi itu, ada 4 kasus yang menimbulkan korban paling besar. Pertama, konflik masyarakat nelayan kepulauan Sangkarang, Kodingareng, Sulawesi Selatan yang melawan rencana reklamasi Makassar New Port, Pelindo, tambang pasir laut dan tambang oleh perusahaan asal Belanda.

Kedua, kriminalisasi dalam kasus buruh PT IWIP di pulau Halmahera, Maluku Utara dan PT VDNI di kecamatan Morosi, Sulawesi Tenggara. Ketiga, kriminalisasi dalam kasus masyarakat menolak tambang emas PT BSI di Banyuwangi, Jawa Timur. Keempat, kriminalisasi dalam kasus nelayan penolak tambang timah di Bangka Barat, Bangka Belitung.

Kepala Divisi Hukum Jatam, Muhammad Jamil, mencatat periode 2014-2020 ada 269 korban kriminalisasi dan penyerangan melalui penerapan ketentuan yang ada dalam 20 pasal dan 7 UU yang dilakukan pemerintah dan korporasi melalui aparat keamanan. Pengakuan nelayan di kepulauan Kodingareng, Sulawesi Selatan, menyebut ada ancaman kriminalisasi terhadap nelayan yang memprotes tambang pasir laut dan proyek strategis nasional. Mereka dipaksa menerima kompensasi atas kehadiran tambang jika mau kasus kriminalisasinya tidak diproses aparat keamanan.

Selain itu, jumlah korban tewas di lubang bekas tambang pada tahun 2020 bertambah 24 orang. Jika ditotal dari tahun 2014-2020 ada 168 korban lubang tambang. Dari hasil pemetaan melalui citra satelit dan overlay konsesi dan uji petik lapangan Jatam menemukan ada 3.092 lubang tambang di seluruh Indonesia.

Tags:

Berita Terkait