Prospek dan Tantangan Perkebunan Sawit Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja
Berita

Prospek dan Tantangan Perkebunan Sawit Pasca Berlakunya UU Cipta Kerja

Kondisi buruh perkebunan tergolong memprihatinkan karena banyak pelanggaran hukum ketenagakerjaan. Karena itu, UU Cipta Kerja dinilai semakin memperburuk kondisi buruh perkebunan sawit yang menghilangkan kepastian kerja, kepastian upah, dan kepastian jaminan sosial dan kesehatan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit
Praktik penggundulan hutan oleh perusahaan tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Foto: SGP/Hol
Praktik penggundulan hutan oleh perusahaan tambang batu bara dan perkebunan kelapa sawit. Foto: SGP/Hol

Indonesia tercatat sebagai salah satu negara penghasil minyak sawit terbesar di dunia. Sawit Watch mencatat luas kebun sawit di Indonesia mencapai 22,6 juta hektar pada tahun 2020 dimana 30 persennya dimiliki petani. Mengutip data Kementerian Perdagangan tahun 2020, Direktur Eksekutif Sawit Watch, Inda Fatinaware, mengatakan periode Januari-Oktober 2020 nilai ekspor sawit mencapai Rp225,37 triliun.

Inda menilai industri perkebunan sawit berkontribusi besar terhadap perekonomian nasional, tapi masih banyak persoalan yang harus diselesaikan, antara lain kerusakan lingkungan, konflik agraria, perburuhan, dan ancaman ketersediaan pangan. Persoalan ini berpotensi semakin berlarut setelah pemerintah dan DPR menerbitkan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Intinya beleid ini mendukung investasi tanpa memperhatikan hak-hak masyarakat kecil termasuk kelompok buruh dan petani sawit. Selama ini buruh sawit berstatus kontrak dan harian lepas, melalui UU Cipta Kerja mereka akan terus bekerja tanpa ada kepastian status hubungan kerja, upah, dan jaminan sosial,” kata Inda ketika dikonfirmasi, Senin (4/1/2020). (Baca Juga: Sejumlah Masukan Implementasi Moratorium Sawit Agar Lebih Efektif)     

Menurutnya, UU Cipta Kerja mempengaruhi sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan pembenahan tata kelola sawit, seperti Instruksi Presiden No.8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit. Padahal, setelah terbit 2 tahun implementasi Inpres ini belum signifikan.

“Disahkannya UU Cipta Kerja justru membuat proses perbaikan tata kelola sawit menjadi runyam. UU ini menerobos proses perbaikan yang berjalan dengan menawarkan model penyelesaian berbau ‘pemutihan’,” kata dia.

Menurut Inda, model penyelesaian yang ditawarkan UU Cipta Kerja meredam potensi penyelesaian, dan mengabaikan perizinan, tidak transparan, dan berujung kerugian bagi publik. Perkebunan sawit tersebar di 28 provinsi, 90 persen perkebunan sawit berada di pulau Sumatera dan Kalimantan. Ekspansi sawit masih terus terjadi, dan beberapa tahun terakhir mengarah ke wilayah timur Indonesia, pesisir, dan pulau-pulau kecil.

“Ekspansi perkebunan sawit mengancam masyarakat, Sawit Watch mencatat ada 1.061 komunitas berkonflik setelah kehadiran perkebunan sawit,” kata

Tags:

Berita Terkait