Ini Jerat Hukum bagi Akun Anonim yang Sebar Fitnah di Media Sosial
Terbaru

Ini Jerat Hukum bagi Akun Anonim yang Sebar Fitnah di Media Sosial

Ada beberapa cara untuk melacak seseorang sebagai pemilik atau admin akun anonim.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 6 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Jarimu harimaumu. Mungkin pribahasa ini cocok disematkan untuk orang-orang yang hobi berselancar di dunia maya. Bagi sebagian orang bermain di media sosial bisa menjadi hiburan, namun tak sedikit pula media sosial dijadikan sebagai media untuk melemparkan komentar negatif, adu domba bahkah fitnah.

Sama seperti yang dialami oleh seorang selebgram tanah air Bernama Rachel Venya (RV). Pada awal September lalu, RV menumpahkan kekesalannya di media sosial miliknya lantaran sebuah forum online menggunjing dan melontar fitnah terkait keluarganya. RV menyebut komentar jahat ini ia terima sejak 2018.

Sebenarnya komentar negatif hingga fitnah tak hanya dialami oleh RV, mengingat banyak kasus serupa yang memang tak mencuat ke publik. Pada 2015 lalu kasus akun anomim @TrioMacan2000 pernah mencuri perhatian netizen. Si pemilik akun diduga berupaya memeras seorang pejabat Telkomsel dengan akun anonim lainnya, @denjaka dan @berantas3. (Baca: Viralkan Utang di Media Sosial, Potensi Pidana)

Hal ini membuktikan bahwa keberadaan media sosial hari ini bak dua mata pisau, Di satu sisi bisa memberikan dampak positif, namun di sisi lain justru menjadi ruang bagi oknum pengguna untuk memberikan komentar negatif kepada pihak lain. Bahkan tak jarang komentar-komentar bernada bullying hingga fitnah dilontarkan oleh akun anonim. Penggunaan akun anonim tersebut biasanya bertujuan menutupi identitas asli si pemilik akun.

Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

Dikutip dari artikel Klinik Hukumonline “Netizen Anonim Sebar Fitnah di Forum Internet, Ini Jerat Hukumnya”, pada dasarnya perbuatan netizen yang menghina dan mencemarkan nama baik seseorang melalui internet dapat dijerat Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), “Setiap Orang dengan sengaja, dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.”

Pengertian muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam pasal di atas tidak bisa dilepaskan dari ketentuan Pasal 310 dan Pasal 311 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 310 KUHP merupakan delik menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal agar diketahui umum. Sedangkan Pasal 311 KUHP berkaitan dengan perbuatan menuduh seseorang yang tuduhannya diketahui tidak benar oleh pelaku.

Selain itu, untuk dapat dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE, terdapat beberapa ketentuan yang harus diperhatikan, di antaranya: Bukan sebuah delik pidana yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas. Untuk perbuatan tersebut dapat menggunakan kualifikasi delik penghinaan ringan sebagaimana dimaksud Pasal 315 KUHP.

Jika muatan yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diakses tersebut berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan, maka bukan merupakan delik pidana berkaitan dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Delik pidana Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan absolut, sehingga harus korban sendiri yang mengadukan kepada aparat penegak hukum, kecuali dalam hal korban masih di bawah umur atau dalam perwalian. Korban sebagai pelapor harus orang perseorangan dengan identitas spesifik, bukan institusi, korporasi, profesi, atau jabatan.

Fokus pemidanaan terkait Pasal 27 ayat (3) UU ITE bukan dititikberatkan pada perasaan korban, melainkan pada perbuatan pelaku yang dilakukan secara sengaja dengan maksud mendistribusikan/mentransmisikan/membuat dapat diaksesnya informasi yang muatannya menyerang kehormatan seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal supaya diketahui umum, yakni kumpulan orang banyak yang sebagian besar tidak saling mengenal.

Berdasarkan ketentuan di atas, dalam hal konten yang disebarkan netizen berupa tuduhan (fitnah), yakni bukan merupakan penilaian, pendapat, hasil evaluasi, atau sebuah kenyataan, serta disebarkan di muka umum sehingga diketahui umum, maka korban dapat mengadukan netizen tersebut atas dugaan pencemaran nama baik sebagaimana diatur Pasal 27 ayat (3) UU ITE.

Adapun jika konten yang disebarkan mengandung penghinaan yang kategorinya cacian, ejekan, dan/atau kata-kata tidak pantas, yang bersangkutan dapat dijerat pasal penghinaan ringan sebagaimana diatur dalam Pasal 315 KUHP: “Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Perlu diketahui, nilai denda tersebut telah disesuaikan menjadi Rp4,5 juta. Lalu bagaimana korban ingin melaporkan pelaku jika ia menggunakan akun anonim? 

Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring mendefinisikan anonim sebagai tanpa nama; tidak beridentitas; awanama. Dalam hal ini, berarti netizen yang bersangkutan menggunakan akun samaran, sehingga identitas aslinya tidak dapat dikenali oleh umum.

Korban tetap dapat mengadukan perbuatan tersebut ke pihak kepolisian. Dalam hal tindak pidana yang diadukan tersebut termasuk tindak pidana yang diatur dalam UU ITE, korban dapat mengadukan perbuatan tersebut, di antaranya melalui: pelayanan penerimaan laporan atau pengaduan tindak pidana di kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika; situs internet Kementerian Komunikasi dan Informatika; layanan laporan dan pengaduan; surat elektronik (electronic mail) yang dialamatkan ke [email protected]; dan/atau surat melalui pos yang dialamatkan ke kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika.

Atas aduan yang diterima, penyidik yang bertanggungjawab di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik berwenang, di antaranya: Memanggil setiap orang atau pihak lainnya untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi sehubungan dengan adanya dugaan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik; Memeriksa orang dan/atau badan usaha yang patut diduga melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik; Membuat suatu data dan/atau sistem elektronik yang terkait tindak pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik agar tidak dapat diakses; Meminta informasi yang terdapat di dalam sistem elektronik atau informasi yang dihasilkan oleh sistem elektronik kepada penyelenggara sistem elektronik yang terkait dengan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik; Meminta bantuan ahli yang diperlukan dalam penyidikan terhadap tindak pidana di bidang teknologi informasi dan transaksi elektronik.

Sehingga, meskipun netizen yang bersangkutan menggunakan akun anonim, pihak kepolisian tetap dapat melacak pemilik akun tersebut melalui upaya-upaya yang diterangkan di atas, salah satunya dengan meminta informasi yang terdapat di dalam sistem elektronik atau informasi yang dihasilkan oleh sistem elektronik kepada penyelenggara sistem elektronik yang bersangkutan.

Sebagai contoh, kita dapat merujuk pada Putusan DILMILTI II Jakarta Nomor 12-K/PMT-II /AU/I/2019. Dalam putusan ini, diketahui bahwa terdakwa yang merupakan prajurit TNI AU menggunakan akun samaran/anonim untuk menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan individu dan kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) melalui twitter (hal. 53).

Atas perbuatannya tersebut, yang bersangkutan dinyatakan bersalah melanggar ketentuan Pasal 45A ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU 19/2016).

Kepala Divisi Hukum Indonesia Cyber Law Community (ICLC) Joshua Sitompul pernah menjelaskan sebenarnya ada beberapa cara untuk melacak seseorang sebagai pemilik atau admin akun anonim.

Pertama, melihat dari kesesuaian pola tulisannya. “Kan kadang-kadang ada orang yang membuat satu tulisan itu sangat spesifik. Misalnya, kalau saya ngomong thanks itu ‘tks’, orang lain ‘tx’. Atau mungkin juga dari pola tulisannya yang lain,” ujar Josua kepada Hukumonline beberapa waktu lalu.

Kesesuaian pola tulisan tersebut dapat dilihat dengan cara membandingkan konten yang ada di dalam akun anonim dengan konten yang ada di blog atau website resmi milik orang tersebut, lanjutnya.

Kedua, jelas Josua, pelacakan yang paling akurat adalah melalui pencarian IP address si pelaku. Namun, untuk kasus-kasus jejaring sosial seperti facebook dan twitter, pelacakan IP address susah untuk didapatkan. “Itu (media sosial,-red) kan servernya ada di Amerika, jadi kita itu akan memiliki kesulitan yang signifikan untuk minta IP ke mereka,” ujarnya.

Josua menceritakan pernah memiliki pengalaman yang cukup panjang ketika meminta IP address kepada salah satu media sosial. Disampaikannya, untuk mendapatkan IP address, pemohon harus memenuhi hukum yang berlaku di Amerika. Hal ini lah yang dirasa tidak mudah.

Apalagi, lanjut Josua, birokrasi di sana  juga tidak mudah. “Untuk memohonkan IP address itu, kita harus berkoordinasi dengan kedutaan negara pemilik server. Kemudian, kedutaan juga akan melihat kasus apa yang dimiliki dan seberapa signifikan kasus tersebut,” jelasnya.

“Secara spesifik kalau seandainya kasus ini berhubungan dengan penghinaan, terdapat perbedaan mendasar pada freedom of speech. Kebebasan mereka (hukum di Amerika,-red) berbeda dengan kebebasan berekspresi kita. Mereka kalau yang saya lihat jauh lebih tinggi, maksudnya mereka itu lebih memberikan kebebasan untuk mengeluarkan kata-kata yang mungkin di dalam kondisi kita itu adalah termasuk penghinaan,” tuturnya.

Tags:

Berita Terkait