Menurut Tjoetjoe, dibandingkan harus ada proses gugat menggugat, rekan-rekan dari Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang merasa kewenangannya untuk memverifikasi syarat-syarat pengangkatan sumpah tercederai dengan adanya SKMA ini, sebaiknya duduk bersama dengan Ketua MA.
Hal tersebut diharapkan juga bisa dilakukan bersama-sama dengan rekan-rekan dari KAI, sebagai organisasi yang juga diberikan kewenangan untuk mengajukan sumpah advokat berdasarkan Putusan MK No. 112/PUU-XII/2014 dan No. 36/PUU-XIII/2015 yang diputus oleh hakim pada 29 September 2015 silam.
“Saya rasa langkahnya bukan gugatan ya. Mungkin PERADI dengan KAI duduk bersama-sama dengan Ketua MA untuk membahas ke depan bagaimana pengaturan dunia advokat. Kalau gugat menggugat rasanya ngga lah. Ini persoalan administratif. Karena di dalam putusan MK kan sudah jelas yang diakui PERADI dan KAI,” ujar Tjoetjoe, Selasa (29/3).
Sebelumnya, kepada hukumonline Otto mengatakan kemungkinannya mengajukan gugatan SKMA. Alasannya, karena keberadaan surat tersebut, sebagian kewenangan PERADI terenggut. “Gara-gara SKMA, Pengadilan Tinggi secara tak langsung menentukan sah atau tidaknya syarat seseorang menjadi advokat. Padahal, dari advokat yang disumpah oleh pengadilan tinggi setelah SKMA terbit, ada yang tidak mengikuti pendidikan dan ujian yang diselenggarakan PERADI,” kata Otto, ditemui Rabu (23/3).
Tjoetjoe mengaku memahami keresahan mengenai banyaknya organisasi yang kemudian bermunculan. Tjoejtjoe mengistilahkan para organisasi tersebut sebagai paguyuban advokat yang tiba-tiba menguap ke permukaan dan memanfaatkan perubahan pasca keluarnya SKMA.
“Saya juga mengakui ada kekacauan karena banyak organisasi yang “tidak jelas” ikut melakukan ujian, melakukan pendidikan, mengajukan penyumpahan, mengadakan pengangkatan, itu yang membuat kacau, tetapi cara mengatasinya bukan dengan menggugat,” ujarnya.
Tak hanya berharap kepada Ketua MA, lebih jauh Tjoetjoe berharap Presiden RI Joko Widodo juga bisa menaruh perhatiannya dan mau duduk bersama untuk membicarakan kondisi advokat terkini dengan para stakeholder, yaitu dua organisasi advokat yang diakui oleh negara ini.
“Tidak hanya blusukan ke masyarakat, melihat pembangunan desa, tetapi undang kami-kami ini untuk membahas bagaimana nih penegakan hukum di Indonesia” timpal Tjoetjoe.
Terlambat
Sementara, Sekretaris Jenderal PERADI saat Otto masih menjabat Ketua DPN PERADI, Hasanuddin Nasution mengatakan, langkah yang akan diambil oleh rekannya itu sudah terlambat. Menurut Hasanuddin, esensi gugatan yang ingin dipersoalkan Otto itu sudah terlanjur kedaluwarsa.
Hal ini, lanjut Hasanuddin, terlihat dari waktu terbitnya SKMA tanggal 25 September 2015. Sejak SKMA terbit, PERADI Slipi – tempat Otto kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina itu– pun ikut-ikutan melakukan pengangkatan sumpah terhadap calon-calon advokat. Padahal, jika menolak SKMA seharusnya PERADI yang kini dinahkodai Fauzie Yusuf Hasibuan itu tak melakukan pengangkatan sumpah advokat setelah SKMA terbit.
“Kalau mereka konsisten, mestinya jangan pernah mereka melakukan pengangkatan sumpah advokat baru setelah keluarnya SKMA itu. Dari awal harusnya mereka bilang, ‘kami tidak mau tunduk pada SKMA. Kami tunduk pada Undang-Undang Advokat. Tetapi ini baru dipersoalkan sekarang. Loh, kemarin-kemarin dua ribu sampai tiga ribu advokat yang you sumpah itu gimana bos?” tutup Hasanuddin.