Ini Klarifikasi MK Atas Putusan Hak Angket KPK
Berita

Ini Klarifikasi MK Atas Putusan Hak Angket KPK

MK menilai banyak pendapat yang beredar di masyarakat tidak tepat, membingungkan atau bahkan bertentangan dengan esensi dan semangat putusan itu.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono Suroso (kanan) saat memberikan keterangan pers. Foto: AID
Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono Suroso (kanan) saat memberikan keterangan pers. Foto: AID

Mahkamah Konstitusi (MK) melalui juru bicaranya, Fajar Laksono Suroso, menanggapi sejumlah pendapat mengenai Putusan MK terkait uji materi hak angket KPK Pasal 79 ayat (3) UU tentang MPR, DPR, DPD, DPRD (MD3). Menurutnya, banyak pendapat yang beredar di masyarakat mengaburkan pemahaman terhadap putusan itu sendiri dan membuat pemahaman yang tidak tepat, membingungkan atau bahkan bertentangan dengan esensi dan semangat putusan itu.

 

“Sehingga menimbulkan kerancuan pehaman tidak tepat menyangkut lembaga peradilan konstitusi,” kata Fajar Laksono dalam jumpa pers, Kamis (15/2).

 

Ia mengatakan Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017 pada pokoknya menolak permohonan Pemohon menyangkut inkonstitusionalitas Pasal 79 ayat (3) UU MD3, khususnya frasa “pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah,” secara bersyarat sepanjang dimaknai lain selain yang secara eksplisit termaktub dalam norma tersebut dan Penjelasannya, yakni hak angket hanya terbatas pada lingkup kekuasaan eksekutif.

 

Fajar menjelaskan esensi pokok dari putusan ini adalah memposisikan KPK dalam lembaga yang berada di ranah kekuasaan, eksekutif karena menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana korupsi yang sejatinya sama dengan kewenangan kepolisian dan kejaksaan.

 

Oleh karena itu, kata dia, KPK merupakan lembaga negara yang berada di ranah kekuasaan eksekutif, maka KPK dapat menjadi obyek penggunaan hak angket DPR sebagai wakil rakyat yang melaksanaan fungsi pengawasan.

 

“Tetapi, penggunaan hak angket DPR tidak dapat diterapkan dalam hal KPK menjalankan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Artinya, KPK tidak bisa diangket ketika KPK sedang menjalankan tugasnya. Karena independensi dan bebasnya KPK dari pengaruh kekuasaan mana pun adalah dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya,” kata Fajar.

 

Dia juga mengklarifikasi terkait pendapat masyarakat yang menyatakan Putusan MK ini bertentangan dengan Putusan terdahulu yakni Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006 tanggal 19 Desember 2006, (2) Putusan Nomor 5/PUU-IX/2011 tanggal 20 Juni 2011; dan (5) Putusan No. 49/PUU-XI/2013 14 November 2013.

 

Ia menjelaskan MK tidak pernah berpendapat yang menyatakan KPK lembaga negara yang berada pada ranah kekuasaan legislatif, eksekutif atau yudikatif. “Baru pada Putusan kali ini saja, Mahkamah berpendapat KPK merupakan lembaga negara yang berada diranah kekuasaan eksekutif. Bisa dilacak dengan menelusuri ketiga putusan tersebut,” ujarnya.

 

Dalam ketiga putusan tersebut pada pokoknya Mahkamah menyatakan, KPK merupakan lembaga negara yang terkait/melaksanakan (sebagian) fungsi kekuasaan kehakiman. Posisi KPK sebagai lembaga negara yang bukan termasuk dalam ranah kekuasaaan kehakiman, namun diberikan tugas, kewenangan, dan fungsi yang berkaitan dengan fungsi kekuasaan kehakiman.

 

Ia menjelaskan memang pada Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006 terdapat pemahaman bahwa UU No. 30 Tahun 2002 KPK, secara institusional berada di ranah kekuasaan kehakiman. Ini mengingat keberadaan Pasal 53 menyatakan “Dengan Undang-Undang ini dibentuk Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi,”

 

Untuk itu, kata dia, dengan ketentuan itu kompetensi Pengadilan Tipikor ditentukan oleh lembaga yang menuntut, yaitu KPK. Sebab, Pengadilan Tipikor dirancang diletakkan dalam wilayah berkiprahnya kewibawaan KPK.

 

Namun, lanjutnya, Pasal 53 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 secara limitatif. Maka, tetap mempunyai kekuatan hukum mengikat sampai diadakan perubahan paling lambat 3 (tiga) tahun terhitung sejak putusan diucapkan. Artinya, pengaturan mengenai pembentukan Pengadilan Tipikor harus dengan UU tersendiri, bukan di dalam UU KPK.

 

“Sehingga Putusan No. 012-016-019/PUU-IV/2006 mengukuhkan KPK sebagai lembaga negara di ranah eksekutif,” katanya. (Baca juga: Kontradiksi Putusan Kedudukan KPK, Begini Pandangan Pakar)

 

Di mana kekuasaan eksekutif adalah kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam perkara tindak pidana korupsi. Sementara kekuasaan yudikatif adalah kewenangan Pengadilan Tipikor yang mengadili dan memutus perkara tindak pidana korupsi.

 

“Jadi, tidak terdapat dasar dan alasan untuk menyebut Putusan ini bertentangan dengan putusan Mahkamah sebelumnya. Justru, Putusan ini sangat sejalan dan melengkapi putusan sebelumnya,” terangnya.

 

Ia menjelaskan Mahkamah pada satu sisi menegaskan hak angket sebagai hak konstitusional DPR untuk melakukan fungsi pengawasan khususnya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan KPK. “Namun, di sisi lain Mahkamah menguatkan lembaga KPK,” tandasnya.

 

(Baca juga: Akademisi: Arief Hidayat Mundurlah untuk Lebih Arif)

 

Sebab, meskipun menjadi obyek hak angket DPR akan tetapi hak angket dibatasi bukan pada tugas dan kewenangan yudisial KPK yaitu penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi.

 

“Putusan ini sama sekali bukan merupakan upaya pelemahan terhadap KPK. Pendapat Mahkamah berkali-kali justru menegaskan KPK sebagai lembaga negara yang dalam menjalankan tugas dan wewenannya bersifat independen. Walaupun tidak boleh dimaknai tidak dapat diawasi oleh DPR. Namun, sesungguhnya hubungan DPR dan KPK dibangun atas dasar checks and balances,” jelasnya.

 

Putusan Mahkamah Bukan 5:4 Tapi 5:3:1

Fajar mengatakan dalam putusan ini, terdapat lima orang hakim konstitusi yang berpendapat MK merupakan lembaga eksekutif. Namun empat hakim lainya menyatakan dissenting opinion. Tetapi dari empat hakim tersebut terdapat satu Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati mempunyai alasan berbeda dengan 3 Hakim Konstitusi lainnya.

 

Yakni, lanjutnya, perihal posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati berpendapat KPK termasuk dalam kekuasaan eksekutif yang sering disebut lembaga pemerintah (regeringsorgaan-bestuurorgaan) walaupun memiliki ciri independen dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.

 

“Sehingga, putusan ini merupakan putusan pertama dengan komposisi hakim 5:3:1. Maksudnya, 5 Hakim Konstitusi menolak permohonan Pemohon, 4 Hakim Konstitusi mengajukan dissenting opinion dan berpendapat permohonan Pemohon seharusnya dikabulkan. Hal ini mengingat terdapat 1 concurring opinion dalam dissenting opinion 4 Hakim Konstitusi,” katanya.

 

Untuk itu, kata Fajar, secara faktual 6 hakim konstitusi berpendapat KPK termasuk dalam kekuasaan eksekutif. Sementara 3 Hakim Konstitusi menyatakan KPK lembaga independen yang bukan berada didalam tiga cabang kekuasaan dalam doktrin trias politika dan tidak termasuk dalam cabang kekuasaan eksekutif.

 

Fajar mengatakan meski putusan ini berlaku mengikat namun putusan Mahkamah yang memuat legal policy yang memperbarui politik hukum lama yang dirumuskan oleh Pembentuk UU. Dengan kata lain, legal policy lama dikesampingkan dan diganti dengan legal policy baru yang dirumuskan oleh Mahkamah melalui putusannya. "Serta, tidak relevan dengan memperdebatkan putusan ini,” ujarnya.

 

Ia juga menegaskan bahwa putusan MK ini tidak ada hubunganya dengan lobi-lobi arief dengan DPR. “Persoalan pelanggaran arief itu kan telah selesai, dan sudah diputus oleh dewan etik serta tidak ditemukan indikasi adanya barter. Jadi jangan dihubung-hubungkan, tapi dilihat isi dari putusan MK ini,” tegasnya.

 

Di acara berbeda, Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas, Fery Amsari menilai dengan menjadikan KPK masuk dalam rumpun eksekutif, maka DPR dapat melakukan angket terhadap lembaga antirasuah tersebut. Meski pun dalam putusan MK, angket terhadap KPK dikecualikan terhadap tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam penanganan perkara korupsi.

 

Fery berpendapat, independensi KPK merupakan hal wajar. Sebab terjadi perkembangan pembagian kekuasaan dalam sistem ketatanegaraan. Menjadi aneh, kata Fery, putusan MK No.36-40/PUU-XV/2017 hanya membagi kekuasaan menjadi tiga. Yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Padahal perkembangan sistem ketatanegaraan terus mengalami perkembangan.

 

Termasuk pembagian kekuasaan bertambah menjadi lembaga independen berintegritas. Yappi oleh MK, lanjut Fery, KPK justru dimasukkan dalam rumpun kekuasaan eksekutif. Padahal, di putusan sebelumnya KPK berada di luar ketiga cabang kekuasaan. “MK menantang putusan MK sendiri yang sudah final dan binding,” ujarnya.

 

Tags:

Berita Terkait