Ini Komentar Anggota Dewan Terkait Naiknya Iuran BPJS Kesehatan
Berita

Ini Komentar Anggota Dewan Terkait Naiknya Iuran BPJS Kesehatan

Menaikan iuran BPJS Kesehatan tak menjamin kualitas layanan membaik. Masih banyaknya persoalan mulai hulu hingga hilir yang belum diselesaikan pemerintah.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
Pemerintah resmi menaikan iuran BPJS Kesehatan mulai 1 April mendatang. Hal itu ditandai dengan terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) No.19 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Perpres No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Meski demikian, menaikan iuran BPJS dinilai tidak menjamin membaiknya kualitas pelayanan publik di bidang kesehatan.

“Saya tidak setuju dengan kenaikan iuran BPJS Kesehatan tersebut. Karena berapa pun kenaikan iuran BPJS Kesehatan dilakukan, namun bila hulu dari persoalan BPJS ini tidak dibereskan, maka persoalan di BPJS akan terus terjadi,” ujar anggota Komisi IX Okky Asokawati di Gedung DPR, Senin (14/3).

Menurutnya, protes dari tenaga kesehatan akan terus bermunculan. Akibatnya, layanan kesehatan terhadap peserta BPJS tak maksimal. Persoalan hulu yang dimaksud Okky, tidak adanya transportasi manajemen rumah sakit dalam pembagian paket dari BPJS yang didistribusikan kepada tenaga kesehatan (dokter, -red), maupun obat.

Semestinya, kata Okky, manajemen Rumah Sakit (RS) mesti adil dalam mendistribusikan paket dari BPJS. Sebab jika tidak, protes dari tenaga kesehatan seperti dokter tak dapat terhindarkan. Oleh karena itu, Okky meminta dewan pengawas BPJS kesehatan yang baru terpilih melakukan pemeriksaan terkait hal tersebut demi perbaikan.

Persoalan hulu lainnya, pemerintah mesti memberikan insentif kepada RS yang notabene swasta. Khususnya terkait dengan layanan BPJS Kesehatan. Sebab, praktik di lapangan pemerintah porsi insentif terhadap RS milik pemerintah. “Padahal kita mafhum, dari sisi layanan dan fasilitas, RS Swasta tidak sedikit lebih baik dari RS Pemerintah,” imbuhnya.

Politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu berpandangan BPJS Kesehatan mestinya melakukan pemetaan daerah pada penduduk, tidak padat penduduk, daerah sehat, dan tidak sehat. Upaya tersebut, kata Okky, agar dapat membedakan kapitasi -metode pembayaran untuk pelayanan kesehatan- terhadap masing-masing wilayah. Tujuannya, agar tenaga kesehatan dapat mengambil untung, karena kapitasi yang tidak terpakai akan diambil oleh tenaga kesehatan.

Mantan pragawati itu menilai pemerintah mesti konsisten dan terus membeirkan pemahaman terhadap masyarakat agar berlaku hidup sehat. Tindakan preventif jauh lebih baik ketimbang tindakan mengobati. “Karena berapapun investasi yang dilakukan di bidang kesehatan namun jika perilaku sehat tidak diterapkan maka akan sia-sia belaka,” ujarnya.

Anggota Komisi IX lainnya, Amelia Anggraini mengamini pandangan Okky. Menurut Amelia, pemerintah telah mengabaikan masukan agar tidak menaikan iuran BPJS. Makanya Amelia amat kecewa dengan kebijakan pemerintah tersebut. Ia menilai kenaikan iuran peserta bukan penerima upah (PBPU) justru akan membuat target kpesertaan menurun. Misalnya, iuran bagi kelas III yang sebelumnya Rp25 ribu menjadi RP30 ribu per April mendatang.

Ia berpendapat dengan iuran dengan nominal lama saja, masyarakat belum banyak yang ikut menjadi peserta. Apalagi dengan nilai iuran yang dinaikan dapat dimungkinkan  menurunkan jumlah kepersetaan masyarakat terhadap BPJS Kesehatan. “Padahal, 2019 semua warga Negara harus sudah tercover jaminan kesehatan,” ujarnya.

Politisi Partai Nasional Demokrat (Nasdem) itu berpandangan akan mendorong pimpinan di komisi tempatnya bernaung agar memanggil direksi BPJS Kesehatan. Tujuannya, agar direksi BPJS Kesehatan memberikan penjelasan gamblang terkait alasan menaikan iuran BPJS Kesehatan serta mesti melihat kemampuan dari tingkat masyarakat.  “Sebelum reses, kita pastikan Komisi IX DPR akan panggil direksi BPJS Kesehatan,” pungkasnya.

Sebagaimana diketahui, dalam Perpres No 19/2016 itu, pemerintah menaikkan iuran jaminan kesehatan bagi peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) dari Rp 19.225 per orang per bulan menjadi Rp 23.000 per orang per bulan mulai 1 Januari 2016. Sedangkan iuran jaminan kesehatan bagi peserta bukan penerima upah untuk kelas III naik dari Rp 25.500 per orang per bulan menjadi Rp 30.000 per orang per bulan, kelas II naik dari Rp 42.500 per orang per bulan menjadi Rp 51.000 per orang per bulan, dan kelas I naik dari Rp 59.500 per orang per bulan menjadi Rp 80.000 per orang per bulan. Kenaikan iuran untuk peserta PBPU ini mulai berlaku mulai April 2016.

Fasilitas dan Infrastruktur
Sementara itu, Wakil Ketua Komite III DPD Fahira Idris berpendapat jika dicermati sejak mulai beroperasi 1 Januari 2014, BPJS Kesehatan selalu jadi sasaran keluhan para pesertanya akibat fasilitas, infrastruktur dan pelayanan fasilitas kesehatan (faskes) yang belum sempurna. Ia menyarankan agar pemerintah membenahi terlebih dahulu semua faskes yang ada di Indonesia, kemudian bicara kenaikan iuran peserta BPJS Kesehatan.

“Hampir semua yang dikeluhkan peserta BPJS Kesehatan adalah pelayanan dan fasilitas di faskes mulai dari puskesmas hingga rumah sakit yang belum prima. Ini tugas pemerintah untuk segera memperbaikinya. Rakyat dibuat nyaman dulu jadi peserta BPJS Kesehatan, baru setelah itu pemerintah bicara kenaikan iuran,” ujarnya.

Fahira mengungkapkan, jika mau dipetakan persoalan yang paling banyak dikeluhkan peserta BPJS Kesehatan adalah pelayanan yang ada di faskes terutama kurangnya jumlah kamar rawat inap bagi peserta BPJS Kesehatan di banyak rumah sakit. Selain itu, yang juga banyak terjadi di lapangan adalah pemahaman kegawatdaruratan yang kerap bias antara rumah sakit dengan masyarakat, yang ujungnya penolakan rumah sakit untuk merawat peserta BPJS Kesehatan.

“Standar kegawatdaruratan itu harus jelas dan sama dipahami peserta dan rumah sakit. Paserta datang ke rumah sakit karena merasa penyakitnya sudah gawat, tapi oleh rumah sakit dianggap belum gawat. Kondisi ini yang sering membuat terjadi benturan antara rumah sakit dan pasien. Hal-hal seperti ini harus segera dibenahi,” ungkap Senator asal Jakarta ini.

Aturan yang mengharuskan paserta BPJS Kesehatan harus membawa rujukan dari puskesmas jika ingin ke rumah sakit juga menjadi persoalan di lapangan.

“Temuan saya di lapangan, banyak peserta BPJS Kesehatan yang mengeluh sakit terpaksa langsung ke rumah sakit pada malam hari karena puskesmas yang jadi rujukannya tidak beroperasi 24 jam. Ketimpangan-ketimpangan pelayanan dan infrastruktur kesehatan seperti ini yang harus segera dibenahi,” tukas Fahira.

Tags:

Berita Terkait