Ini Masukan Pakar Jaringan Terorisme Soal Revisi UU Anti Terorisme
Berita

Ini Masukan Pakar Jaringan Terorisme Soal Revisi UU Anti Terorisme

Pasal pencegahan harus seimbang dengan penindakan. Revisi UU yang ada cenderung memberikan perlindungan terhadap penegak hukum dalam melakukan penindakan.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi penanganan bom di Jakarta. Foto: RES
Ilustrasi penanganan bom di Jakarta. Foto: RES
Panitia Khusus (Pansus) Revisi Undang-Undang (RUU) Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terus meminta masukan dari berbagai pemangku kepentingan. Ketentuan yang menuai sorotan dalam RUU ini adalah minimnya aspek pencegahan dan penguatan terhadap penegakan hukum. Padahal keduanya perlu seimbang.

“Penindakan itu memang penting, tapi lebih penting aspek pencegahan,” ujar pakar jaringan terorisme Asia, Ahmad Baidhowi, dalam rapat dengar pendapat umum dengan Pansus RUU Pemberantasan Terorisme di Gedung DPR, Rabu (8/6).

Dia mengatakan, RUU Pemberantasan Terorisme lebih mengedepankan aspek penindakan dengan memberikan kewenangan lebih terhadap penegak hukum. Menurutnya, aspek pencegahan dengan mengganti terminologi deradikalisasi menjadi re-edukasi. Program deradikalisasi yang dilakukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) hanya berjalan pada aspek formal semata. Ironisnya, program deradikalisasi tak mampu membendung aksi terorisme di tanah air.

Program deradikalisasi pun dipandang kurang efisien. Padahal dalam membuat program mestinya melalui mekanisme assessment. Tak kalah penting, tidak adanya lembaga yang mendeteksi pelaksanaan program deradikalisasi. Cara pandangan terhadap terorisme mesti bukan karena latar belakang agama tertentu, namun sebagai bentuk kejahata manusia.

Pakar jaringan terorisme Asia lainnya, Samsu Rizal Panggabean mengatakan memang meski berhasil di bidang penindakan terhadap terorisme, namun UU tersebut mesti direvisi. Hanya saja, revisi terkait dengan penguatan pencegahan terhadap berkembangnya tindakan kekerasan terorisme. Sebaliknya, bila revisi justru menambah kewenangan lebih terhadap aparat penegak hukum tanpa menyeimbangkan aspek pencegahan bakal timpang.

“Jangan karena mengutamakan law enforcement mengabaikan penyelesaiakn sumber ketidakadilan dan keresahan. Jadi penyelesaiannya sumber dan akar masalah,” imbuhnya.

Menurutnya, kewenangan penguatan pencegahan dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum. Hanya saja tak dapat dilakukan seluruhnya. Pasalnya, hanya sebatas pada aspek menutup akses persenjataan, bahan peledak, mengeloa jaringan, memonitor teknologi. Namun bila pencegahan dari aspek akar masalah mesti melibatkan seluruh stakeholder. Nah aturan seperti itulah mesti dituangkan dalam RUU agar memperkuat aspek pencegahan, tak saja penindakan.

Anggota Komisi Hukum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Brigjen (purn) Anton Tabah Digdaya mengatakan RUU Terorisme mesti menjadikan negara lebih taat hukum dan hak asasi manusia. Setidaknya dengan memanusiakan manusia dapat mmebasmi aksi terorisme menjadi lebih efektif. Berdasarkan kajian MUI, RUU Terorisme tak ubahnya lebih memberikan perlindungan terhadap petugas penegak hukum. Mulai polisi, jaksa, hakim, sipir Lapas. Namun RUU belum memberikan perlidungan terhadap korban.

Mantan jenderal polisi bintang satu di era Kapolri Dai Bachtiar itu penanganan terorisme sebelum adanya UU 15/2003 cenderung penangkapan tanpa adanya pelaku yang tewas. Kasus Bom Bali I misalnya, pelaku dapat ditangkap hidup-hidup dengan barang bukti yang cukup. Ironisnya, setelah adanya UU Terorisme justru pelaku ditangkap dalam keadaan mati. “Kenapa ada UU Terorisme malah begini. Deradikalisasi atau apapun namanya adalah menyadarkan teroris dan calon terorisme,” ujarnya.

Anggota Pansus RUU Terorisme, Arsul Sani mengatakan RUU tersebut memang mengutamakan aspek penindakan. Namun dalam pembahasan nantinya dengan meminta masukan dari seluruh pemangku kepentingan mesti memasukkan penguatan aspek pencegahan dan HAM. “Ini harus menyeimbangkan pencegahan, HAM dan penindakan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait