Pengawasan Densus dan BNPT Harus Dinormakan dalam RUU Teroris
Berita

Pengawasan Densus dan BNPT Harus Dinormakan dalam RUU Teroris

Usulan pengawasan cukup dilakukan oleh Ormas Keagamaan terhadap Densus dan BNPT agar lebih independen.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Suasana penanganan teror bom. Foto: RES
Suasana penanganan teror bom. Foto: RES
Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terus meminta masukan dari berbagai pemangku kepentingan. Masukan yang mencuat antara lain dibutuhkannya evaluasi kinerja terhadap pelaksana pemberantasan terosime, yakni evaluasi dan pengawasan terhadap Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Hal itu disampaikan beberapa organisasi masyarakat keagamaan dalam rapat dengar pendapat umum dengan Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di Gedung DPR, Rabu (1/6).

Anggota Majelis Hukum dan HAM Pengurus Pusat Muhamadiyah, Trisno Raharjo, berpandangan evaluasi dan pengawasan terhadap Densus 88 dan BNPT mesti dilakukan. Hal itu perlu agar di kemudian hari tidak terjadi abuse of power dalam penindakan dan pemberantasan tindak pidana terorisme. Merujuk kasus Siyono, PP Muhamadiyah beserta elemen lainnya yang melakukan pendampingan, banyak menemui kejanggalan. Setidaknya, tindakan Densus terhadap Siyono dilakukan di luar prosedur yang berlaku.

“Memiliki peluang penyalahgunaan wewenang. Kalau tidak dikontrol akan kontraproduktif,” ujarnya.

Pengawasan semestinya dapat dilakukan sesuai dengan sistem peradilan pidana. Sayangnya, hal tersebut belum terlihat dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Terlebih, hukum acara pun belum mengatur penyadapan mesti mendapat izin dari Ketua Pengadilan Negeri. Begitu pula dengan aturan penyadapan yang dilakukan Densus belum diatur dalam draf RUU tersebut. Oleh sebab itu, pengawasan dan evaluasi kinerja terhadap Densus dan BNPT mesti dinormakan dalam RUU tersebut.

Ironisnya, praktik yang dilakukan Densus dalam pemberantasan teroris cenderung berlebihan. Misalnya, penggeledahan dan penyitaan dilakukan setelah dilakukan penangkapan dengan cara yang represif. Tak kalah penting, bantuan hukum terhadap terduga mau pun pelaku mesti dijelaskan. Pasalnya, pelaku dan terduga kerap tak didampingi advokat ketika menjalani pemeriksaan oleh Densus. Bahkan, praktik penyiksaan ketika terduga dan pelaku menjalani pemeriksaan oleh Densus bukan rahasia umum.

Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amirsyah Tambunan, menambahkan RUU tersebut mesti memperhatikan aspek perlindungan hak asasi manusia (HAM). Tak saja HAM korban, pelaku, maupun masyarakat umum. Predikat terorisme sebagai kejahatan luar biasa tidak berarti negara dalam hal ini adalah Densus  boleh mengabaikan HAM dalam proses penindakannya.

“Mengabaikan atau melanggar  prinsip-prinsip HAM sama artinya dengan mengabaikan dan melanggar konstitusi UU kita sendiri. Tindakan atau penegakan hukum dengan kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah, sebaliknya akan mereproduksi kekerasan baru,” ujarnya.

Sekretaris  Eksekutif Komisi Hubungan Antar Agama dan Kepercayaan  Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Romo Agustinus Ulahayanan, berpandangan mesti keberadaan Densus dan BPNT tetap diperlukan, namun penguatan peran dan fungsinya mesti diseimbangkan dengan pengawasan. Dengan begitu, garis tugas dan kewajiban serta tangungjawabnya jelas.

Selain itu, konsep deradikalisasi yang dijalankan oleh BNPT mesti dievaluasi. Pasalnya, setelah sekain tahun konsep tersebut dilaksanakan, toh aksi terorisme dan paham kekerasan masih terus terjadi oleh kelompok tertentu.

Ketua Bidang Hukum Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), Yanto Jaya, mengatakan cara kerja Densus memang kerap menuai keluhan dari sebagian masyarakat. Pola kerja penindakan yang dilakukan Densus acapkali represif. Pihak terduga yang belum terbukti melakukan pidana teroris kerap mendapat perlakuan berlebihan. Oleh sebab itu, cara kerja Densus, termasuk BNPT dalam menjalankan program deridikalisasi mesti diawasi dan dievaluasi. “Cara kerjanya harus dievaluasi ini,” ujarnya.

Libatkan Ormas Keagamaan
Aturan pelibatan masyarakat sebagai bagian instrumen pengawas kinerja Densus dan BNPT mesti dituangkan dalam norma di RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Menurut Trisno Raharjo, pengawasan lembaga acapkali dilakukan oleh lembaga pengawas eksternal. Namun demi menjaga netralitas dan independensi lembaga, pelibatan masyarakat yakni organisasi kemasyarakatan keagamaan  dalam rangka memberikan penilaian kinerja dan pengawasan mesti menjadi bagian tidak terpisahkan.

“Kalau mereka terlibat, akan pebih terkontrol,” ujarnya.

Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Pemuda Muhamadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, menambahkan mestinya pengawasan terhadap Densus dan BNPT tak perlu lagi dilakukan oleh lembaga. Namun, pengawasan dilakukan oleh Ormas Keagamaan yang ada di Indonesia. Bentuknya dapat konsorsium atau lainnya. Dengan kata lain, setiap Ormas Keagamaan pun melakukan pengawasan kinerja Densus dan BNPT.

“Kami usulkan DPR dan pemerintah menunjuk ormas Keagamaan agar lebih independen,” ujarnya.

Yanto Jaya berbeda pandangan. Menurutnya, pengawasan dan evaluasi dilakukan oleh atasan masing-masing institusi. Misalnya pengawasan Densus dilakukan oleh Kapolri. Sedangkan BNPT dilakukan pengawasan oleh presiden. “Namun masing-masing tokoh agama tetap melakukan pengawasan,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait