Proses Penangkapan Siyono Ternyata Salah Prosedur
Berita

Proses Penangkapan Siyono Ternyata Salah Prosedur

Hal itu diakui Kapolri. Perlu ada SOP mengenai bagaimana tata cara penangkapan terduga teroris dengan tetap mengedapankan hak asasi manusia.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Kapolri Badrodin Haiti. Foto: RES
Kapolri Badrodin Haiti. Foto: RES
Penangkapan terduga teroris Siyono beberapa waktu lalu di Klaten terdapat kesalahan prosedur. Peristiwa naas yang berujung hilangnya nyawa Siyono mengabaikan standar operasional prosedur (SOP) Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri. Hal ini disampaikan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti dalam Rapat Kerja (Raker) dengan Komisi III di Gedung DPR, Rabu (20/4).

“Memang terdapat beberapa kesalahan prosedur (saat penangkapan Siyono, -red),” ujarnya.

Kesalahan prosedur dimaksud berupa pengawalan yang tidak dilakukan lebih dari satu orang. Sebaliknya, pengawalan saat penangkapan Siyono dilakukan hanya satu orang personil petugas Densus. Sesuai dengan prosedur penetapan (Protap) yang berlaku di Densus, hal tersebut tidak diperbolehkan.

Kesalahan prosedur lainnya, petugas yang melakukan pengawalan tidak melakukan pemborgolan terhadap Siyono. Akibatnya, kata Badrodin, terjadi perkelahian dan Siyono melakukan pelawanan terhadap petugas yang melakukan pengawalan. Meski begitu, Badrodin bersikukuh kematian Siyono terjadi lantaran terdapat pendarahan di selaput otak bagian belakang akibat perkelahian tersebut.

Jenderal polisi bintang empat itu mengatakan, kematian Siyono merupakan kejadian yang tidak diinginkan lembaga yang dipimpinnya. Pasalnya, Siyono yang sudah ditetapkan tersangka oleh Densus itu memiliki banyak informasi terkait pengungkapan senjata api yang diberikan kepada seseorang jaringan terorisme Jamaah Islamiyah.

“Sehingga dengan meninggalnya Siyono, askes informasi yang bisa diperoleh dari tersangka menjadi hilang,” katanya.

Terhadap personil Densus yang melakukan pengawalan beserta dengan komandannya sedang menjalani proses persidangan kode etik. Menurut Kapolri, dengan persidangan kode etik setidaknya bakal diketahui bersalah tidaknya petugas yang diduga melakukan pelanggaran prosedur.

Ketua Komisi III Benny K Harman mengatakan komisinya tetap mendukung kerja-kerja Densus dalam pemberantasan terorisme. Namun, Benny menekankan agar pemberantasan terorisme tetap mengedepankan prinsip hak asasi manusia. Pelaku terorisme ketika ditangkap pun tetap memiliki hak asasi yang mesti diberikan.

Dikatakan Benny, tindakan Densus mesti dikaji untuk kemudian apakah dapat dikatakan melanggar UU yang berlaku atau seblaiknya. Hal tersebut menjadi penting demi integritas dan akuntabilitas Densus. Sebab dengan dilakukan evaluasi terhadap kerja-kerja Densus agar tidak terjadi pelanggaran hak asasi manusia di kemudian hari.

“Kami mendukung penuh Polri dalam setiap agenda pemberantasan terorisme, namun hal tersebut juga tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang tanpa adanya prosedur yang jelas. Maka perlu ada SOP mengenai bagaimana tata cara penangkapan terduga teroris,” ujarnya.

Ia pun meminta Polri untuk dapat segera mengungkap hasil persidangan disiplin dank ode etik. Pasalnya dengan mengumumkan hasil persidangan kode etik sebagai bentuk tanggungjawaban Polri. Bila terbukti adanya pelanggaran prosedur, maka mesti diberikan sanksi berat terhadap anggota tim Densus yang menangkap Siyono.

Seperti diketahui, sebelumnya Komnas HAM bersama PP Muhammadiyah menerbitkan rilis hasil otopsi jenazah Siyono, terduga teroris yg tewas dalam operasi Densus 88 di Klaten beberapa waktu lalu.

Dari hasil rilis otopsi tersebut ditemukan fakta bahwa penyebab meninggalnya Siyono akibat patah tulang iga dan dada. Akibatnya merusak jaringan organ jantung. Selain itu, tidak ditemukan adanya tanda-tanda perlawanan dari otopsi luka memar di sekitar pergelangan tangan seperti keterangan dari Mabes Polri bahwa Siyono melakukan perlawanan.

Tags:

Berita Terkait