Ini Poin-poin PP Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Korban Tindak Pidana
Berita

Ini Poin-poin PP Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Korban Tindak Pidana

Restitusi bisa diajukan pada tahap penyidikan dan penuntutan.

Oleh:
Fathan Qorib/RED
Bacaan 2 Menit
Ini Poin-poin PP Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Korban Tindak Pidana
Hukumonline
Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana. PP ini ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 16 Oktober 2017 lalu. PP ini merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 71D ayat (2) UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

PP yang terdiri dari empat bab dan 23 pasal ini berisi mengenai tata cara permohonan hingga pemberian restitusi. Restitusi merupakan pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiil dan atau immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.

Dalam PP disebutkan bahwa setiap anak yang menjadi korban tindak pidana berhak memperoleh restitusi. Yang dimaksud dengan anak menjadi korban tindak pidana antara lain anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang dieksploitasi secara ekonomi atau seksual, anak yang menjadi korban pornografi, anak korban penculikan, penjualan atau perdagangan, anak korban kekerasan fisik atau psikis dan anak korban kejahatan seksual.

(Baca Juga: Ingat! Korban Kekerasan Seksual Juga Punya Hak Restitusi)
No. Jenis restitusi bagi anak yang menjadi korban
1. Ganti kerugian atas kehilangan kekayaan
2. Ganti kerugian atas penderitaan sebagai akibat tindak pidana
3. Penggantian biaya perawatan medis dan/atau psikologis

Pasal 4 PP ini menyebutkan, permohonan restitusi diajukan oleh pihak korban. Seperti, orang tua atau wali anak yang menjadi korban tindak pidana, ahli waris anak yang menjadi korban tindak pidana, orang yang diberi kuasa oleh orang tua, wali atau ahli waris anak yang menjadi korban tindak pidana dengan surat kuasa khusus. Pihak yang diberi kuasa itu antara lain Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Lembaga Bantuan Hukum dan lembaga yang menangani perlindungan anak.

Perlu diingat, permohonan restitusi ini diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia di atas kertas bermaterai kepada pengadilan. Permohonan ini diajukan sebelum putusan pengadilan yakni di tahap penyidikan atau penuntutan. Selain itu, permohonan ini bisa diajukan melalui LPSK sesuai ketentuan UU Perlindungan Saksi dan Korban. Jika anak yang menjadi korban tindak pidana lebih dari satu orang, maka pengajuan permohona restitusi dapat digabungkan dalam satu permohonan.

(Baca Juga: Banyak Alasan Pelaku Tak Bayar Restitusi)
Pasal 7 PP Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana
(1) Pengajuan permohonan Restitusi yang diajukan oleh pihak korban, paling sedikit harus memuat:
  1. identitas pemohon;
  2. identitas pelaku;
  3. uraian tentang peristiwa pidana yang dialami;
  4. uraian kerugian yang diderita; dan
  5. besaran atau jumlah Restitusi.
(2) Permohonan Restitusi sebagaimana dimaksud ayat (1) harus melampirkan:
  1. fotokopi identitas Anak yang menjadi korban pidana yang dilegalisasi oleh pejabat pada tindak yang berwenang;
  2. bukti kerugian yang sah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3;
  3. fotokopi surat keterangan kematian yang telah dilegalisasi pejabat yang berwenang jika Anak yang menjadi korban tindak pidana meninggal dunia; dan
  4. bukti surat kuasa khusus jika permohonan diajukan oleh kuasa Orang TUa, Wali, atau ahli waris Anak yang menjadi korban tindak pidana.

Pada tahap penyidikan, penyidik memberitahukan kepada pihak korban mengenai hak anak yang menjadi korban tindak pidana untuk mendapatkan restitusi dan tata cara pengajuannya. Atas pemberitahuan ini, pihak korban memiliki waktu paling lama tiga hari untuk mengajukan permohonan restitusi.

Kemudian, penyidik memeriksa kelengkapan berkas permohonan paling lama tujuh hari sejak tanggal diterimanya pengajuan permohonan. Jika ada kekuranglengkapan permohonan penyidik memberitahukan kepada pemohon agar dilengkapi. Waktu bagi pemohon melengkapi permohonan adalah tiga hari sejak diterimanya pemberitahuan tersebut. Jika tak dilengkapi, maka pemohon dianggap belum mengajukan permohonan.

Pasal 12 PP menyebutkan bahwa penyidik dapat meminta penilaian besaran permohonan restitusi yang diajukan. Hal ini hanya bisa diminta penyidik apabila permohonan restitusi pemohon dinyatakan lengkap. Atau, LPSK menyampaikan hasil penilaian besaran permohonan restitusi berdasarkan dokumen yang disampaikan penyidik paling lama tujuh hari setelah permohonan penilaian restitusi diterima. Kemudian, permohonan restitusi yang dinyatakan lengkap dikirim penyidik dengan dilampirkan dalam berkas perkara ke penuntut umum.

(Baca Juga: Penolakan Permohonan Restitusi dan Tantangannya di Peradilan Pidana)

Apabila permohonan restitusi saat tahap penuntutan, maka penuntut umum memberitahukan kepada pihak korban untuk mendapatkan restitusi dan tata cara pengajuannya sebelum dan/atau dalam proses persidangan. Jika pelaku merupakan anak, maka penuntut umum memberitahukan hak anak yang menjadi korban tindak pidana untuk mendapatkan restitusi pada saat proses diversi.

Waktu permohonan hingga kekuranglengkapan permohonan pada tahap penuntutan sama dengan tahap penyidikan. Apabila permohonan dianggap sudah lengkap, maka penuntut umum dalam tuntutannya mencantumkan permohonan restitusi sesuai dengan fakta persidangan yang didukung dengan alat bukti.
Tata Cara Pemberian Restitusi (Pasal 19, 20,21, 22)
  1. Panitera pengadilan mengirimkan salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang memuat pemberian Restitusi kepada jaksa. Jaksa melaksanakan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membuat berita acara pelaksanaan putusan pengadilan kepada pelaku untuk melaksanakan pemberian Restitusi.
  2. Jaksa menyampaikan salinan putusan pengadilan yang memuat pemberian Restitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) kepada pelaku dan pihak korban dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari sejak salinan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap diterima.
  3. Pelaku setelah menerima salinan putusan pengadilan dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan wajib melaksanakan putusan pengadilan dengan memberikan Restitusi kepada pihak korban paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak menerima salinan putusan pengadilan dan berita acara pelaksanaan putusan pengadilan. Dalam hal pelaku sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Anak, pemberian Restitusi dilakukan oleh Orang Tua.
  4. Pelaku atau Orang Tua sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 melaporkan pemberian Restitusi kepada pengadilan dan kejaksaan. Pengadilan mengumumkan pelaksanaan pemberian Restitusi, baik melalui media elektronik maupun non elektronik.

Sebelumnya, pelaku tindak pidana memiliki banyak alasan untuk menolak membayar restitusi kepada korbannya. Bahkan pelaku lebih memilih mengganti kewajiban membayar restitusi dengan hukuman penjara. Hal itu diutarakan Jared Kimball, perwakilan United State Departement of Justice (USDOJ) Jakarta saat bertemu pimpinan LPSK beberapa waktu lalu.

Pria yang berkarier sebagai penuntut umum sekitar 20 tahun itu berkisah di Amerika Serikat saja pembayaran restitusi tak mudah dijalankan. Seorang penuntut umum harus memperhatikan dan melaksanakan hak-hak asasi korban tindak pidana. Hak-hak korban dituangkan dalam sebuah dokumen resmi yang menjadi panduan. “Pada kasus dimana ada kesepakatan pelaku dinyatakan bersalah untuk mendapatkan pengurangan hukuman (plea bargaining), korban juga harus diberitahukan,” katanya.
Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait