Not Legally Binding, Begini Manfaat Panduan IBA Bagi Pengacara Perusahaan
Advokat Go International:

Not Legally Binding, Begini Manfaat Panduan IBA Bagi Pengacara Perusahaan

Guna berkompetisi di era global, korporasi membutuhkan konsultan hukum yang mampu memahami perkembangan internasional, termasuk standar bisnis dan HAM.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Jasa hukum yang diberikan advokat Indonesia kepada perusahaan sudah harus memerhatikan aspek HAM. Ilustrator: BAS
Jasa hukum yang diberikan advokat Indonesia kepada perusahaan sudah harus memerhatikan aspek HAM. Ilustrator: BAS
Dari kantor pusatnya di 10 St Bride Street London, Inggris, International Bar Association (IBA) menerbitkan sebuah buku panduan bagi para pengacara perusahaan. Panduan praktis setebal 41 halaman itu jelas ditujukan kepada mereka yang memberikan jasa hukum kepada kalangan pengusaha (business lawyers). Meskipun ditujukan kepada para pengacara di seluruh dunia, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga menaruh perhatian pada isu ini.

Nur Kholis, Ketua Komisi itu, adalah orang yang mengikuti proses terbitnya Prinsip-Prinsip Bisnis dan Hak Asasi Manusia di Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa. Prinsip itu, lazimnya disingkat UNGPs, mengamanatkan peran business lawyer, baik in house counsel maupun corporate lawyer, dilibatkan perusahaan saat melakukan due diligence bisnis dan hak asasi manusia. Masalahnya, UNGPs tak merinci bagaimana pengacara bertindak dan bekerja memberikan jasa hukum dalam rangka pelaksanaan UNGPs tahun 2011 itu.

Barulah lima tahun setelah UNGPS itu, IBA menghasilkan panduan yang disebut ‘IBA Practical Guide on Business and Human Rights for Business Lawyers’. Kini, para advokat Indonesia bisa mengakses panduan itu dan menjalankannya saat memberikan jasa hukum kepada klien mereka.

(Baca juga: Kenali Panduan Praktis Ala Asosiasi Advokat Sejagat).

Advokat sekaligus pegiat isu hak asasi manusia, Todung Mulya Lubis, mengingatkan pentingnya para pengacara Indonesia memahami isu bisnis dan HAM. Ia mengapresiasi sejumlah pengacara publik yang terus memperjuangkan isu hak asasi manusia dalam bisnis. Sebaliknya, ia menggugah para konsultan hukum di firma hukum untuk lebih memahami pentingnya HAM dalam bisnis perusahaan klien mereka. “Tantangannya adalah apakah mereka ini terorganisasi dengan baik atau tidak,” ujarnya kepada hukumonline.

Membaca perkembangan bisnis internasional memang menjadi salah satu tantangan bagi pengacara Indonesia yang ingin go international. Pemberian jasa-jasa hukum kini semakin mengglobal, melewati batas-batas negara. Nilai dan standar-standar yang perlu diperhatikan advokat semakin universal. Salah satunya adalah IBA Practical Guide tadi.

Tak mengikat tapi bermanfaat
Pertanyaannya, apakah IBA Practical Guide mengikat organisasi advokat Indonesia yang menjadi anggotanya? Apakah para pengacara perusahaan di Indonesia wajib menjalankan panduan IBA yang dibuat berdasarkan UNGPs? Sudah jelas UNGPs tak mengikat secara hukum. Practical Guide IBA menyebutnya dengan kalimat ‘do not have the force of law and are not legally binding’.

Meskipun tak punya daya laku hukum dan mengikat secara hukum, Nur Kholis yakin Panduan IBA bermanfaat bagi sejumlah kelompok kepentingan di Indonesia, terutama mempermudah implementasi UNGPs. Ia mengingatkan perkembangan bisnis menunjukkan tren meninggalkan pola lama. Korporasi akan mengikuti selera pasar global, termasuk kepatuhan pada nilai-nilai HAM dalam menjalankan bisnis. Advokat, sebagai pihak yang diminta jasanya oleh korporasi, otomatis harus memahami perkembangan itu.

Panduan yang dibuat IBA mempermudah advokat memahami langkah-langkah apa yang harus dilakukan, termasuk memberikan nasihat kepada perusahaan klien. Panduan IBA lebih memiliki daya laku moral ketimbang legal. Ia menyarankan agar para advokat di Indonesia membandingkan panduan yang diterbitkan IBA dengan kode etik advokat. “Panduan praktis ini sangat penting bagi advokat,” ujarnya, Senin (11/9).

Persoalannya, kata Nur Kholis, perubahan kultur korporasi dunia tak diikuti kesiapan advokat memahami prinsip-prinsip bisnis dan HAM. Padahal selama ini ratusan advokat Indonesia bekerja membantu perusahaan melakukan due diligence, termasuk kepatuhan pada perundang-undangan nasional. “Ini tantangan bagi pengacara Indonesia untuk memahami bisnis dan HAM,” sambung pria yang berlatar belakang dunia advokat itu.


Nur Kholis menyatakan siap untuk menjalin kerjasama dengan organisasi advokat untuk membahas pelaksanaan panduan tersebut. Banyaknya jumlah advokat yang ada di Indonesia membuat para pemangku kepentingan perlu melakukan sosialisasi yang masif. Selain itu Komnas HAM bakal berkomunikasi dengan jaringan internasional dan berkoordinasi dengan sekretariat IBA di London, Inggris.

(Baca juga: Korporasi Zonder Pelanggaran HAM, Siapa Takut?).

Melalui panduan praktis ini, advokat harus mengingatkan kliennya mengenai pentingnya HAM. Ketika kegiatan yang dilakukan korporasi berdampak pada HAM, tugas advokat mengingatkan kliennya itu. Ini penting bagi korporasi agar mereka tidak mengalami kerugian di kemudian hari, misalnya akibat tindakan yang diduga pelanggaran HAM produk yang dihasilkan korporasi tidak diterima pasar.

Pemahaman HAM dalam jasa hukum
Nur Kholis juga mengimbau kepada organisasi advokat untuk menyandingkan prinsip HAM dalam etik advokat dengan prinsip-prinsip yang terkandung dalam UNGPs dan IBA Practical Guide. Sehingga ada sanksi yang bisa dijatuhkan organisasi ketika anggotanya melakukan pelanggaran yang berkaitan dengan penghormatan HAM dalam melaksanakan tugasnya sebagai advokat. Jika advokat minim pengetahuan mengenai HAM, maka akan menjerumuskan korporasi sebagai kliennya ke dalam ‘jurang’ yang dalam.

Saat mendapat saran hukum yang minim HAM, bisa jadi di masa awal korporasi tidak menghadapi masalah. Ketika itu berlanjut dan korporasi berkembang ke ranah internasional, produk mereka ditolak pasar karena diindikasi melakukan pelanggaran HAM. “Proses ini harus dimulai sejak awal, jangan-jangan konsultan bisnis atau advokat nya korporasi tidak peduli terhadap HAM, sehingga menjerumuskan korporasi dalam masalah,” ujar Nur Kholis.

(Baca juga: Pahami FCPA, UKBA, dan UU Tipikor Agar Korporasi Anda Tak Terjerat Pidana).

Nur Kholis melihat saat ini korporasi sangat membutuhkan advokat yang paham mengenai bisnis dan HAM. Untuk itu yang paling penting sekarang kesiapan advokat menjawab kebutuhan tersebut. Komnas HAM akan mendukung penuh upaya organisasi advokat untuk memberi pemahaman kepada anggotanya tentang bisnis dan HAM. Komnas HAM berkepentingan karena ini berdampak pada berkurangnya masyarakat yang menjadi korban karena kegiatan perusahaan yang tidak memperhatikan HAM. Lebih jauh, diharapkan advokat bisa membantu penyelesaian kasus dugaan pelanggaran HAM.

Biasanya, dalam sengketa antara korporasi dan masyarakat, perusahaan mengutus advokat sebagai wakil untuk menyelesaikan persoalan itu. Dari perkara yang ditangani Komnas HAM, Nur Kholis mengatakan penyelesaian kasus yang paling sulit melibatkan korporasi. Advokat yang mewakili perusahaan cenderung menggunakan sudut pandang legal. Misalnya, dalam kasus sengekta tanah antara masyarakat dan perusahaan, hal pertama yang selalu ditanyakan advokat mengenai sertifikat kepemilikan tanah masyarakat.

Sebagaimana diketahui, tidak semua lahan yang digarap masyarakat desa memiliki sertifikat karena ada yang menggunakan mekanisme masyarakat hukum adat. Jika yang dikedepankan mekanisme legal formal, akan meniadakan pemenuhan hak-hak rakyat. Untuk itu pemahaman terhadap HAM perlu dipercepat salah satunya untuk kalangan advokat.

Nur Kholis mengingatkan, minimnya pemahaman HAM di dunia bisnis itu akan membawa petaka bagi masyarakat dan korporasi itu sendiri. Misalnya, rekomendasi parlemen Uni Eropa beberapa waktu lalu terhadap perkebunan kelapa sawit. Salah satu alasan terbitnya rekomendasi itu yakni persoalan HAM yang ada di perkebunan kelapa sawit. Uni Eropa memberi batas waktu Indonesia untuk melakukan perbaikan paling lambat 2020.

(Baca juga: Siapa Bilang Sarjana Hukum Tak Bisa Berkarir di Industri Asuransi? Simak Peluang Ini).

Kebutuhan korporasi untuk mendapat saran dan analisis hukum berkaitan dengan bisnis dan HAM menurut Nur Kholis menjadi pasar bagi advokat. Jika advokat lokal belum siap, peluang itu berpotensi diambil oleh advokat asing. Bukankah jika ada due diligence bisnis dan HAM juga mengandung arti ada ruang baru bagi advokat memberikan jasa hukum di tengah kompetisi yang kian ketat?
Tags:

Berita Terkait