Inpres Moratorium Sawit di Daerah Butuh Dukungan Pemerintah
Berita

Inpres Moratorium Sawit di Daerah Butuh Dukungan Pemerintah

Pemerintah daerah butuh panduan teknis dan dukungan dana dari APBN untuk menjalankan Inpres No.8 Tahun 2018 secara efektif.

Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi panen sawit. Foto : sawitwatch.or.id
Ilustrasi panen sawit. Foto : sawitwatch.or.id

Pemerintah berupaya membenahi tata kelola perkebunan kelapa sawit dengan menerbitkan sejumlah regulasi, salah satunya Inpres No.8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit Serta Peningkatan Produktivitas Perkebunan Kelapa Sawit.

 

Direktur Eksekutif Sawit Watch Inda Fatinaware mencatat sedikitnya ada 5 hal yang disasar Inpres tersebut. Pertama, peningkatan tata kelola perkebunan sawit yang berkelanjutan. Kedua, memberikan kepastian hukum. Ketiga, menjaga dan melindungi kelestarian lingkungan termasuk penurunan emisi gas rumah kaca. Keempat, peningkatan pembinaan petani. Kelima, peningkatan produktivitas perkebunan.

 

Sejak Inpres berjalan sekitar setahun ada capaian yang telah diraih. Misalnya, Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian telah membentuk tim kerja tingkat nasional yang terdiri dari lintas kementerian. Selain itu telah disusun standar minimum kompilasi data. Kemudian menetapkan rencana kerja, konsolidasi data serta finalisasi peta luasan perkebunan sawit untuk diintegrasikan ke dalam One Map Policy.

 

Inda melihat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah melakukan penundaan penerbitan izin baru pelepasan/tukar-menukar kawasan hutan untuk perkebunan kelapa sawit. KLHK juga telah memetakan kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan. Memiliki daftar perusahaan yang wajib melaksanakan alokasi 20 persen lahan dari pelepasan kawasan hutan untuk kebun masyarakat.

 

Dia juga melihat KLHK menyusun rancangan Perpres penyelesaian perkebunan sawit di dalam kawasan hutan. Kementerian ATR/BPN telah menindaklanjuti Inpres No.8 Tahun 2018 dengan merangkum data HGU yang tersedia di One Map Policy. Inda meminta capaian ini harus bergulir sampai ke tingkat daerah.

 

Sawit Watch mencatat sedikitnya ada 5 pemerintah daerah yang menerbitkan kebijakan di tingkat lokal untuk menjalankan Inpres Moratorium Sawit ini yakni provinsi Aceh, kabupaten Buol, kabupaten Aceh Utara, kabupaten Sanggau, dan kabupaten Gorontalo. Selain itu ada 10 pemerintah daerah yang berkomitmen untuk menjalankan Inpres ini.

 

Menurut Inda, pemerintah daerah butuh dukungan pemerintah pusat agar mampu menjalankan mandat Inpres No.8 Tahun 2018 secara efektif. Bentuk dukungan yang dibutuhkan antara lain panduan teknis dan anggaran. “Ini butuh dukungan dari pemerintah pusat agar pemerintah daerah bisa melaksanakan moratorium sawit,” kata Inda dalam diskusi di Jakarta, Selasa (29/10/2019). Baca Juga: Implementasi Moratorium Sawit Dianggap Tidak Jalan  

 

Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Sanggau Provinsi Kalimantan Barat Syafriansyah memaparkan 60 persen wilayah di kabupaten Sanggau merupakan kawasan hutan. Komoditi utama yakni perkebunan sawit seluas 264 ribu hektar yang mayoritas lahan itu dikelola swasta (111 ribu hektar). Jumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di Sanggau sebanyak 38 perusahaan.  

 

Syafriansyah menilai ada dampak positif dan negatif perkebunan sawit bagi kabupaten Sanggau. Dampak positifnya, industri ini menyerap banyak tenaga kerja, tapi negatifnya terjadi deforestasi. Jumlah PAD yang dihasilkan dari perkebunan kelapa sawit relatif tidak signifikan. Sejak 2016 kabupaten Sanggau tidak menerbitkan izin baru untuk perkebunan kelapa sawit. Dalam rangka menindaklanjuti Inpres No.8 Tahun 2018 ini, Bupati Sanggau telah menerbitkan Surat Edaran No.065/3442/HK-B. “Tahun ini kami mencabut izin 4 perusahaan sawit karena tidak melaksanakan kewajiban,” ujarnya.

 

Bupati Kayong Utara Provinsi Kalimantan Barat Citra Duani menegaskan pihaknya mendukung moratorium perkebunan kelapa sawit. Meski mengakui dampak positif industri ini mampu menyerap tenaga kerja dan membuka jalan ke daerah terisolasi, tapi dampak negatifnya ternyata besar. Citra mencatat sampai saat ini perusahaan sawit di wilayahnya belum memenuhi kewajiban untuk menyediakan kebun rakyat (plasma). Selain itu, jalan di kabupaten rusak karena kerap dilintasi mobil pengangkut sawit. Kontribusi terhadap PAD juga tidak signifikan.

 

Dia juga menyoroti ada praktik buruk yang dilakukan sebagian perusahaan sawit yakni setelah mengantongi izin mereka menebangi kayu yang ada di wilayah konsesi. Setelah itu izin tersebut dijual kepada pihak lain. “Sawit tidak memberi kontribusi yang baik untuk daerah (kabupaten Kayong Utara), maka kami tidak akan mempertahankan perkebunan sawit,” ungkapnya.

 

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan Teguh Surya menghitung sekitar 60 persen perkebunan sawit dikuasai swasta. Selama negara tidak menguasai perkebunan sawit, maka akan sulit untuk membenahi tata kelolanya. Tren industri pengelolaan kelapa sawit di tingkat global sudah berubah, orientasinya sekarang yakni industri sawit yang berkelanjutan, sehingga menjadi nilai tambah bagi ekologi dan masyarakat.

 

“Inpres No.8 Tahun 2018 merupakan pintu masuk pemerintah untuk memperbaiki tata kelola sawit,” kata dia.

 

Pemerintah daerah yang memiliki komitmen untuk melaksanakan Inpres No.8 Tahun 2018 harus mendapat dukungan yang memadai dari pemerintah pusat. Salah satu kendala yang dihadapi pemerintah daerah yakni ketiadaan anggaran.

Tags:

Berita Terkait