IPK Turun, Presiden Diminta Lebih Kencang
Indeks Persepsi Korupsi 2007

IPK Turun, Presiden Diminta Lebih Kencang

Faktor pemimpin menjadi kunci keberhasilan pemberantasan korupsi, bukan semata-mata dibebankan pada KPK atau Kejaksaan. Presiden diminta lebih serius bertindak.

Oleh:
Ali
Bacaan 2 Menit
IPK Turun, Presiden Diminta Lebih Kencang
Hukumonline

Seperti biasa, setiap tahun Transparency International (TI) mengeluarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) di beberapa Negara. Tahun 2007 ini, Indonesia mengalami penurunan sebesar 0,1 dari

IPK 2,4 tahun lalu
menjadi 2,3. Meski bukan penurunan yang signifikan, "Survey ini membuktikan masyarakat belum puas dengan penegakan hukum selama ini," ujar Ketua Dewan Pengurus TI Indonesia Todung Mulya Lubis dalam diskusi pemaparan IPK di Jakarta, Rabu (26/9).

Namun, perwakilan lembaga penegak hukum yang hadir membantah anggapan itu. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiqurrahman Ruki mengatakan, lembaga yang dipimpinnya sudah bekerja cukup maksimal meski secara pribadi ia belum cukup puas. Menurutnya, ekspektasi masyarakat yang terlalu tinggi lah yang menyebabkan KPK selalu "disalahkan" setiap ada IPK semacam ini.

Ruki mengatakan keberhasilan pemberantasan korupsi tak melulu dibebankan kepada lembaga semacam KPK atau Kejaksaan. "Presiden juga harus lebih kencang," ujarnya. Ia membandingkan di beberapa Negara pemimpin yang baiklah yang bisa mendukung keberhasilan tersebut. "Lee Kuan Yew di Singapura," contohnya.

IPK Indonesia 2003-2007

Tahun

2003

2004

2005

2006

2007

IPK

1,9

2,0

2,2

2,4

2,3

Sumber: Transparency International Indonesia

Todung berpendapat senada. Ia menghimbau Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mengambil alih gerakan pemberantasan korupsi. Presiden harus turun langsung melakukan pengawasan agar instruksinya dijalankan. "Baru kemudian memobilisir dukungan lembaga lain, seperti Mahkamah Agung," jelasnya.

Sebagai catatan mayoritas responden yang disurvey oleh TI Indonesia adalah pengusaha, sepertinya kurang seru bila pengusaha tak ikut angkat bicara. Salah seorang pengusaha yang tergabung dalam APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia), Anton Supit menyoroti masalah keteladanan.

Anton menjelaskan Indonesia tak hanya butuh sekedar pemimpin tetapi keteladanan dalam pemimpin itu sendiri. Ia mencontohkan Bung Hatta yang memberangkatkan istrinya naik haji dengan biaya pribadi. "Orang seperti itu yang susah dicari," ujarnya.

Tetapi memilih figur teladan juga harus dilakukan dengan hati-hati. Anggota Fraksi PKS DPR RI Suryama M Sastra mengatakan promosi keteladanan harus terhadap orang yang sudah almarhum. "Kemungkinan orang yang masih hidup untuk berbelok di tingkungan akhir masih sangat mungkin terjadi," ujarnya.

Masih ingat dengan mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Khairiansyah Salman. Sosok anti KKN yang sempat disematkan integrity award oleh TI ini karena

menolak disuap oleh anggota KPU Mulyana W Kusumah, akhirnya terpaksa mengembalikan penghargaan tersebut. Pasalnya, nama Khairiansyah terseret kasus korupsi Dana Abadi Umat (DAU).

Berpengaruh pada investasi

Walaupun survey ini hanya semacam persepsi, Menurut Ketua APINDO Sofjan Wanandi akan berpengaruh terhadap investasi. "Pengaruhnya sangat besar," ujarnya. Ia menjelaskan investor dari Negara lain sangat takut dengan suap menyuap, namun di Indonesia investor tersebut "harus" melakukan hal tersebut.

"Pengalaman kita sehari-hari, kenyataan ini (suap menyuap, red) betul kita alami," jelas Sofjan. Apalagi, lanjutnya, dengan system otonomi daerah yang menimbulkan raja-raja kecil. Ia mengungkapkan bila pada zaman orde baru hanya perlu mendekati Soeharto saja, kini harus mendekati pemerintah, DPR, Pemda. "Itu yang harus kita layani," ujarnya.

Tags: