Public Interest Lawyer, Segudang Misi Sedikit Atensi
Fokus

Public Interest Lawyer, Segudang Misi Sedikit Atensi

Untuk pertama kalinya jaringan pengacara publik menyelenggarakan konperensi nasional. Di pundak mereka dibebankan segudang misi kemanusiaan. Butuh dukungan yang lebih besar.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Bahkan, di mata Muhammad Anshor, misi yang diemban PIL bukan hanya isu domestik. Seiring berlakunya Piagam HAM ASEAN, para pengacara publik perlu mengadvokasi isu yang cakupannya lebih luas. Anshor dan Don K. Marut sependapat PIL perlu memperkuat jaringan ke luar negeri. Di sejumlah negara, kasus-kasus publik –seperti tragedi Minamata di Jepang dan tragedi Bhopal di India-- menjadi pusat perhatian setelah disokong pengacara publik. Selama bertahun-tahun para pengacara publik membawa persoalan ini ke pengadilan.

 

Minim atensi

Konperensi Nasional PIL-Net seolah menjadi ajang reuni para pengacara publik. Perhelatan sepi dari pejabat tinggi lembaga penegak hukum. Tak ada Ketua Mahkamah Agung, tak tampak Ketua Badan Legislasi DPR. Demikian pula Jaksa Agung dan Kapolri, atau Kadiv Hukum Mabes Polri.

 

Bahkan para pengurus teras organisasi advokat pun tak tampak selama awal konperensi. Padahal, di mata Habiburrahman, kerjasama dengan organisasi advokat mutlak dilakukan. Organisasi advokat bertugas memastikan bahwa setiap advokat menjalankan kewajiban probononya. “Kewajiban itu kan melekat pada diri setiap advokat, sehingga harusnya mereka juga respon pada isu publik,” ujarnya.

 

Beruntung PBH Peradi –lembaga di bawah Perhimpunan Advokat Indonesia yang khusus menangani bantuan hukum probono – mengirimkan wakil ke Konperensi. Beruntung pula, masih ada satu dua advokat yang peduli pada isu-isu publik. “Masih banyak advokat yang punya tujuan sama dengan PIL-Net,” inisiator PIL-Net, Dadang Trisasongko, mencoba optimis. Upaya advokat David ML Tobing memperjuangkan isu-isu konsumen misalnya bisa dimasukkan dalam konteks ini.

 

Reward-nya tidak banyak,” kata Jimly, memberikan alasan mengapa atensi advokat lain minim. Sejatinya, PIL memang menghadapi beragam masalah. Finansial salah satunya. Pengacara publik membela kepentingan publik yang umumnya “kering”. Karena itu, sebagian pengacara publik tak melupakan perkara privat. Sumber-sumber pendanaan –semisal APBN-- untuk mengadvokasi kepentingan publik sudah harus dipertimbangkan.

 

Mindset para pengacara publik bahwa semua perkara harus diselesaikan lewat pengadilan pun, kata Abdul Hakim Garuda Nusantara, mantan Ketua Komnas HAM, harus diubah. Jika masalah bisa diselesaikan lewat arbitrase atau mediasi, mengapa harus ke pengadilan? Tentu saja, perubahan pola pikir itu harus ditanamkan ke ratusan bahkan ribuan pengacara publik yang tersebar di Tanah Air.

 

Apapun masalah, potensi, dan solusi yang ditawarkan, Konperensi Nasional PIL-Net tetap menjadi ajang penting pemberdayaan masyarakat. Pembentukan unit kerja dan penguatan jaringan akan mempermudah PIL menjalankan program-program advokasi kepentingan publik. Jaringan itu, kata Habiburrahman bukan hanya sesama pengacara publik, tetapi juga dengan organisasi advokat. Kalau Konperensi Nasional PIL-Net tak membuka ruang itu, Habib khawatir PIL hanya mengisolasi dirinya sendiri ke dalam isu-isu terbatas.

Tags: