Proses penegakan hukum terhadap kasus korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menghadapi hambatan. Operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK beberapa waktu lalu yang berujung penetapan beberapa pejabat Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) sebagai tersangka. Antara lain Kepala Basarnas Marsda Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Afri Budi Cahyanto menuai polemik. Alhasil, pimpinan KPK menyebut penetapan tersangka itu sebagai kekeliruan dan meminta maaf kepada TNI.
Koalisi organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari Imparsial, Elsam, Centra Initiative, PBHI Nasional, WALHI, YLBHI, Amnesty International Indonesia, Public Virtue, Forum de Facto, KontraS, LBH Pers, ICW, LBH Masyarakat, HRWG, ICJR, LBH Jakarta, LBH Malang, Setara Institute, AJI Jakarta, dan AlDP mendesak KPK untuk menyeret kasus ini ke peradilan umum, bukan menyerahkannya ke peradilan militer.
Direktur Eksekutif Elsam, Wahyudi Djafar, menilai dugaan kejahatan korupsi yang dilakukan perwira TNI aktif di Basarnas itu harus diproses dengan menekankan prinsip transparan dan akuntabel. Apalagi posisi Kabasarnas merupakan perwira aktif yang ditempatkan di instusi sipil seperti Basarnas.
“Untuk memastikan akuntabilitas dan tidak ada impunitas oleh militer maka proses hukumnya tunduk pada peradilan umum,” ujarnya dalam konferensi pers yang digelar koalisi, Minggu (30/7/2023).
Baca juga:
- Koalisi Desak KPK Tuntaskan Kasus Korupsi Basarnas Melalui Pengadilan Tipikor
- KPK Akui Kesalahan Prosedur dalam OTT Koorsmin Kabasarnas
Wahyudi mengingatkan Nawacita yang diusung Presiden Joko Widodo sejak periode pertama pemerintahan tegas menyebut pentingnya revisi UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, karena selama ini digunakan sebagai instrumen impunitas. Jelang akhir pemerintahan Presiden Jokowi periode kedua ini diharapkan revisi UU 31/1997 segera dibahas dan dituntaskan.
“Tidak ada yang menjadi halangan bagi pemerintah dan DPR untuk segera merevisi UU No.31 Tahun 1997,” ujarnya.