“Maka perlu diatur dalam revisi UU ITE terkait sarana teknologi yang bisa menimbulkan delik pidana,” ujarnya.
Sebelumnya, koalisi masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR segera merevisi UU ITE. Wakil Ketua Bidang Advokasi dan Jaringan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indoneosia (YLBHI) Arif Maulana, menilai revisi 19/2016 amatlah penting sebagaimana pernyataan Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu menyebut revisi UU ITE penting dilakukan jika dianggap multitafsir dan rentan mengkriminalkan warga. Alih-alih merevisi UU 19/2016 pemerintah malah menerbitkan Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Tahun 2021 tentang Pedoman Implementasi Pasal Tertentu dalam UU 19/2016.
Tapi setelah SKB itu terbit, koalisi mencatat jumlah masyarakat yang dikriminalisasi menggunakan UU ITE masih terjadi. Melansir data Safenet, Arif mencatat dari 84 kasus pemidanaan terhadap masyarakat sipil 64 kasus diantaranya menggunakan UU 19/2016. Sementara data Amnesty International mencatat, ada 332 orang dituduh melanggar pasal dalam UU 19/2016 yang multitafsir.
“Semua kasus kriminalisasi itu terjadi justru setelah SKB terbit,” katanya dalam konferensi pers, Senin (13/03/2023) kemarin.
Ditambah indeks demokrasi di Indonesia setiap tahun terus turun, di mana salah satu indikatornya adalah kebebasan sipil. Ukurannya bagaimana masyarakat bebas berpendapat, dan berekspresi termasuk melayangkan kritik terhadap pemerintahan. Indeks demokrasi yang semakin terpuruk itu tak hanya terjadi di ranah luring tapi juga daring. Dia menilai, UU 19/2016 menjadi salah satu regulasi yang mengancam demokrasi dan hak asasi manusia (HAM).
“Oleh karena itu sudah tidak bisa ditawar lagi, UU ITE harus segera dibenahi,” imbuhnya.