Jargon ‘Pembangunan' untuk Merebut Sepetak Tanah
Resensi

Jargon ‘Pembangunan' untuk Merebut Sepetak Tanah

Penolakan berbagai elemen masyarakat terhadap Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Demi Kepentingan Umum, terus bergulir. Sinyal serupa datang dari Senayan, tempat wakil-wakil rakyat berkantor. Sejauh ini, pemerintah tetap berusaha meyakinkan bahwa Perpres itu dibuat demi kesejahteraan rakyat.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Sebenarnya, pencabutan tanah bukan barang baru yang tiba-tiba muncul dalam Perpres No. 36/2005. Ia sudah lama dikenal, bahkan mendapatkan payung hukum dalam konstitusi. Pasal 26 Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS), dan pasal 27 UUD Sementara 1950 memuat kemungkinan pencabutan hak milik atas tanah demi kepentingan umum. Syaratnya: harus ada ganti rugi yang layak, dan pencabutan itu dilakukan atas dasar ketentuan undang-undang.

 

Untuk melegitimasi kewenangan pencabutan hak atas tanah itu, pemerintah lantas mengeluarkan UU No. 20 Tahun 1961. Isinya mengatur tentang Pencabutan Hak Tanah oleh Pemerintah untuk Kepentingan Umum. Cuma, pemerintah agaknya sangat hati-hati. Terbukti, sebagaimana dikutip penulis dari pakar hukum pertanahan Prof. AP Parlindungan (almarhum), sejak diundangkan hingga tahun 1995, undang-undang tadi tidak pernah in action, dalam arti belum pernah dipergunakan untuk pencabutan hak atas tanah (hal. 15).

 

Meskipun demikian, Kalo mencatat adanya pijakan hukum bukan berarti masalah selesai. Keberadaan peraturan demi peraturan di bidang pertanahan tidak menjamin perlindungan bagi rakyat dari kesewenang-wenangan aparat pemerintah yang selalu membawa jargon ‘pembangunan dan kepentingan umum.

 

Dalam praktik, perangkat hukum pertanahan cenderung diterapkan secara  silogisme dengan logika deduktif semata tanpa mempertimbangkan pengaruh faktor ddan proses sosial yang ada. Ini merupakan akibat pengaruh aliran positivisme dalam sistem hukum Indonesia. Kaedah hukum yang dibuat penguasa lewat undang-undang harus ditaati masyarakat tanpa memperhitungkan apakah kaedah itu benar dan adil, atau malah sebaliknya (hal. 128-129).

 

Dalam proses pembebasan dan pencabutan hak atas tanah, para pihak memang berusaha mencari jalan tengah. Sikap serupa akan ditunjukkan pemerintah dalam kasus pembebasan lahan oleh swasta. Tetapi kalau jalan tengah tak tercapai, sengketa warga dengan pengembang terus berlanjut, pemerintah cenderung selalu memihak swasta dibanding kepentingan masyarakat. Tidak jarang dilakukan dengan unsur-unsur paksaan agar warga masyarakat terpaksa meninggalkan tanahnya dengan ganti rugi yang tidak layak (hal. 44).

 

Celakanya, kalaupun perkara pertanahan berujung ke pengadilan, nasib rakyat tidak berarti lebih mujur. Dalam mengadili sengketa pertanahan, hakim lebih mementingkan ‘fakta atau peristiwa' ketimbang ‘hukumnya'. (hal. 131).

 

Itu sebabnya penulis menginginkan adanya reformasi hukum menyangkut aturan pembebasan tanah. Cara-cara kekerasan harus dihindari. Tetapi yang tak kalah penting adalah mendefinisikan ‘kepentingan umum'. Keppres No. 55 Tahun 1993 menyebutnya sebagai kepentingan seluruh lapisan masyarakat, tidak bertujuan komersial. Masalahnya, selama ini makna kepentingan umum begitu abstrak.

Halaman Selanjutnya:
Tags: